MajmusSunda News, Senin (21/07/2025) – Artikel berjudul “Bisakah Politik Diluruskan?” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, ada yang keliru dalam cara kita memahami politik hari ini. Ia tak lagi dipandang sebagai seni mengelola urusan publik demi kebaikan bersama, melainkan disempitkan menjadi alat perebutan posisi dan penghidupan pribadi. Politik yang seharusnya menjadi jalan suci menuju keadilan, berubah menjadi jalur cepat bagi ambisi dan kalkulasi. Nilai-nilai luhur seperti pengabdian, integritas, dan empati tergeser oleh kamus baru: rekayasa elektoral, pencitraan, dan keuntungan.

Persepsi publik pun ikut terbius. Menjadi politisi tak lagi dimaknai sbg panggilan luhur, tetapi sekadar pekerjaan. Jabatan publik disejajarkan dengan profesi bergaji tetap dan jaminan masa depan. Tak heran, pencalonan hari ini lebih mirip seleksi kerja: yang bermodal, berjaringan, dan viral, dialah yang dilirik. Yang dicari bukan yang paling bijak, tapi yang paling piawai mencuri perhatian.
Partai politik, yang semestinya menjadi medan juang kewargaan, kini lebih mirip agensi karier. Bukan lagi pembibitan pemimpin berintegritas, tetapi pasar bebas bagi mereka yang mampu membeli tiket kekuasaan. Penjaringan kader tak melalui penyaringan nilai, melainkan transaksional: siapa menyetor dia dapat nomor. Ideologi bukan lagi ruh, melainkan aksesoris. Platform bukan visi, melainkan slogan.
Wakil rakyat pun kehilangan makna “wakil”. Mereka lebih fasih menyuarakan kepentingan fraksi atau pemodal daripada jeritan konstituen. Banyak yang sibuk membangun citra pribadi ketimbang menyimak kegelisahan publik. Gedung parlemen yang diharapkan jadi medan adu gagasan kini lebih sering menjadi ruang kompromi pragmatis: tukar pasal, tukar dukungan, tukar keuntungan.
Barangkali inilah zaman ketika demokrasi berjalan dengan prosedur, tapi kehilangan substansi. Ketika kebajikan dikalahkan oleh strategi, dan pelayanan digantikan oleh ambisi. Politik kehilangan ruhnya sebagai jalan kebaktian.
Dan kita pun bertanya dalam hati lelah: Masih adakah yang ingin menjadi pemimpin karena cinta, bukan karena laba? Masih adakah yang memandang kekuasaan sebagai amanah, bukan semata jenjang karier? Masih adakah yang memperjuangkan kepentingan publik di atas ambisi pribadi dan golongan?
***
Judul: Bisakah Politik Diluruskan?”
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.
Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.