Beras dari Ketergantungan Impor Pangan

oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Jum’at (08/08/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Beras dari Ketergantungan Impor Pangan” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Sebagaimana dijelaskan dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang dimaknai dengan Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Dalam melakoni kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, kedaulatan pangan tidak terlepas kaitan nya dengan swasembada pangan, ketahanan pangan dan kemandirian pangan. Itu sebab nya, bila kita akan mengokohkan Sistem Pangan nasional dan daerah yang kuat, maka dibutuhkan ada nya keterpaduan pola pikir dari ke empat madhab pangan diatas.

Untuk mewujudkan harapan yang demikian, Badan Pangan Nasional sebagai lembaga pangan baru dalam birokrasi Pemerintahan, yang dilahirkan lewat Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021, sengaja menyelenggarakan sosialisasi pencegahan korupsi dan gratifikasi terhadap seluruh “Keluarga Besar” Badan Pangan Nasional dan segenap “kaki” Badan Pangan Nasional di 34 Provinsi seluruh Indonesia.

Dalam sosialisasi ini Badan Pangan Nasional secara khusus mengundang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai nara sumber untuk menggambarkan betapa rawan nya pembangunan pangan “disergap” perilaku korupsi. KPK dimintakan untuk dapat memberi kisi-kisi mana saja yang paling banyak digunakan untuk praktek-oraktek korupsi, sekaligus dengan upaya cerdas untuk mengatasi nya.

Langkah Badan Pangan Nasional ini pantas diberi acungan jempol sekaligus tepuk tangan yang meriah. Sebab, upaya pemberantasan korupsi memang tidak boleh lagi dengan menggunakan pendekatan “pemadam kebajaran”, namum sudah saat nya diterapkan pola dan pendekatan “deteksi dini” (early warning system).

Kisah sukses pemberantasan korupsi, mesti nya tidak diukur oleh banyak nya koruptor yang dijebloskan ke Hotel Pordeo, tapi yang lebih pas, bagaimana agar praktek korupsi itu tidak terjadi. Sadar akan hal yang demikian, Badan Pangan Nasional mencoba untuk menerapkan pendekatan “early warning system” dalam pencegahan praktek korupsi.

Atas hal yang demikian, Pimpinan KPK dalam pertemuan sosialisasi pencegahan korupsi dan gratifikasi tersebut menyatakan ketahanan pangan atau langkah menuju kedaulatan pangan akan efektif, salah satunya apabila tidak ada korupsi. Dari sini muncul pertanyaan : bagaimana agar Badan Pangan Nasional tidak terjebak dalam dunia korupsi ? Salah satu nya, KPK perlu terus-menerus “mendampingi” Badan Pangan Nasional dalam kiprah keseharian nya.

Atau dalam bahasa lain nya, KPK akan membersamai Badan Pangan Nasional dalam kerangka membangun sistem pangan yang berkepastian, yang kemudian mampu mencapai visi Badan Pangan Nasional yaitu menjamin ketersediaan, baik dari pasokan, stabilitas harga, maupun kualitas pangan. Itu hanya akan efektif tercapai kalau bebas korupsi.

Suka atau pun tidak, pengalaman menunjukan sektor pangan, merupakan salah satu sektor yang rawan korupsi. Untuk itu, kita berharap keberadaan dan kiprah Badan Pangan Nasional mampu membantu menciptakan kedaulatan pangan tanpa korupsi. Bahkan akan lebih keren lagi jika Badan Pangan Nasional mampu menjadi “role model” lembaga Pemerintah yang bebas korupsi.

Sebagaimana kita ketahui, sektor pangan selama ini menjadi sektor yang sangat mudah dijadikan ajang korupsi. Oleh karena itu, KPK diharapkan tetap mengawal dan mendampingi keberadaan Badan Pangan Nasional yang merupakan lembaga baru dalam mewujudkan visi kedaulatan pangan tanpa korupsi.

Korupsi dalam sektor pangan yang paling sering terjadi adalah pada kegiatan ekspor dan impor, khusus nya yang berkaitan dengan pangan strategis. Imbasnya, bisa saja merusak harga hasil panen para petani. Rusaknya harga itu di kemudian hari membuat apatis lagi masyarakat untuk menanam. Selain itu harganya pasti anjlokl. Itu yang harus dijaga.

Kekurangan pasokan pangan atau terjadi nya defisit pangan, tentu saja memaksa kita harus mengimpor bahan pangan tersebut. Menyebalkan nya, prosedur impor butuh suap untuk dapatkan izin. Inilah yang sering dikatakan sebagai kerugian tidak langsung. Yang langsung adalah kalau impor dilakukan pada saat masyarakat sedang panen raya. Hal ini, pasti akan merusak harga di tingkat petani.

Mencermati gambaran yang seperti ini,sangatlah wajar bila ketika terjadi polemik perlu atau tidak nya impor beras, terekam ada pihak-pihak yang begitu ngotot menyarankan kepada Pemerintah agar kran impor beras dibuka lagi. Jika analisa diatas benar, dengan ada nya impor beras, boleh jadi di dalam proses pelaksanaan nya bakal banyak oknum yang memanfaatkan kesempatan di atas penderitaan orang lain. Korupsi inilah biang keladi utama nya.

Kemauan politik Pemerintahan yang kuat dari Presiden Prabowo saat itu untuk mewujudksn swasembada pangan sebagaimana yang dirumuskan dalam Asta Cita, sebetul nya merupakan langkah cerdas yang penting diejawantahkan dalam kehidupan nyata di lapangan. Swasembada pangan memang harus segera diwujudkan. Soal kapan terwujud nya, tentu dibutuhkan perjuangan keras untuk meraih nya. Inilah sebetul nya tantangan dan pekerjaan rumah yang harus kita jawab bersama.

Menuju swasembada pangan tanpa korupsi, tentu bukan hanya sebatas jargon. Atau cuma tertuang di atas kertas. Apalagi kalau cuma dijadikan pemanis pidato para pejabat di berbagai kesempatan. Langkah Badan Pangan Nasional menerapkan pola pendekatan deteksi dini, penting menjadi terobosan cerdas dalam pemberantasan korupsi dan wajib menjadi pencermatan kita bersama.

Saat inilah kita butuh adanya ekosistem pangan yang berkualitas. Kemudian, apa artinya dan bagaimana penerapannya. Ekosistem pangan (Food Ecosystem) adalah suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait dan berinteraksi untuk memproduksi, mengolah, mendistribusikan, dan mengkonsumsi pangan.

Ekosistem pangan mencakup: sisi Produksi Pangan seperti pertanian, perikanan; kehutanan; pangan dan lain-lain. Kemudisn, Pengolahan Pangan dalam arti proses pengolahan pangan, seperti penggilingan, pengemasan, dan pengawetan. Selanjutnya, distribusi Pangan. Sistem distribusi pangan, seperti transportasi, penyimpanan, dan penjualan. Kemudian, konsumsi pangan seperti kegiatan konsumsi pangan, termasuk perilaku makan dan preferensi konsumen. Dan terakhir soal lingkungan seperti faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi ekosistem pangan, seperti iklim, tanah, dan air.

Hal ini penting digarap, karena ekosistem pangan yang seimbang dan berkelanjutan dapat memastikan: ketersediaan pangan yang memadai dan beragam. Lalu, kualitas pangan yang baik dan aman untuk dikonsumsi. Selanjutnya, keseimbangan lingkungan yang terjaga dan terlindungi. Dan kesejahteraan masyarakat yang meningkat melalui akses ke pangan yang memadai dan seimbang. Dalam konteks Indonesia, ekosistem pangan yang kuat dan berkelanjutan sangat penting untuk mencapai tujuan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Di sisi lain, upaya melepas ketergantungan terhadap impor pangan, juga semakin serius digarap Pemerintah. Adanya tekad politik kuat untuk menghentikan impor beras mulai tahun 2025 merupakan bukti dari cita-cita politik pangan Pemerintah untuk bertekad mewujudkan swasembada pangan menuju kemandirian dan kedaulatan pangan yang lebih nyata.

Dengan dicapainya swasembada pangan, bangsa ini boleh optimis, ketergantungan terhadap impor pangan bakal dapat kita hentikan. Impor pangan ke depan, tidak lagi menjadi kebutuhan negara dan bangsa, namum impor pangan dilakukan sekiranya ada hal mendesak yang tidak bisa tercukupi oleh kebituhan produksi dari dalam negeri.

Semoga demikian adanya.

***

Judul: Beras dari Ketergantungan Impor Pangan!
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *