MajmusSunda News, Kolom Artikel/Opini, Kamis (11/09/2025) – Artikel Serial Tropikanisasi dan Kooperatisasi berjudul “Beras Coklat versus Beras Putih: Revolusi Piring untuk Indonesia Bebas Stunting” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Dua Saudara Kembar, Dua Takdir Berbeda
Dalam tradisi Nusantara, beras putih dan beras coklat bagai saudara kembar yang terpisah jalan hidupnya. Beras yang satu dipoles hingga bersih, disanjung sebagai simbol kemakmuran. Namun, kehilangan jati dirinya. Beras yang lain tetap sederhana dan diabaikan. Namun, setia pada kekayaan alamnya.

Data ilmiah membuktikan: setiap porsi beras putih mengorbankan 5% serat, 3.7% zinc, dan 6.4% magnesium yang seharusnya menjadi hak tubuh kita. Sementara beras coklat yang dianggap “kampungan” justru memberikan 2.3 kali lipat zinc dan 4.6 kali lipat serat – pejuang anti-stunting yang setia menjaga gizi keluarga Indonesia.
Tragedi di Balik Piring Nasi Putih
Konsumsi beras putih bukan sekadar pilihan, tetapi warisan kolonial yang terus dipelihara. Kebijakan pangan warisan Orde Baru memuja beras putih sebagai simbol modernitas, mengabaikan 77 jenis pangan lokal lain. Masyarakat terjebak dalam ilusi: beras putih dianggap lebih premium, padahal gizinya jauh di bawah.
Dampaknya mengerikan: 21.5% balita Indonesia stunting – kerusakan kognitif permanen yang membebani ekonomi $18.5 miliar/tahun; Rumah tangga kita rata-rata menghabiskan 37.5% pengeluaran hanya untuk makanan – hampir enam kali lipat Amerika Serikat, dan; 70% gandum impor menyedot devisa $5.2 miliar/tahun, sementara sagu dan sorgum terabaikan.
Jalan Keluar: Tropikanisasi dan Kooperatisasi
Berdasarkan teori Romer, Rummi, Becker, dan Simon, kami merancang strategi revolusioner:
1. Tropikanisasi sebagai Engine of Growth (Romer): Beras coklat dan rice bran bukan sekadar komoditas, tetapi platform inovasi; Alihkan subsidi impor gandum ke riset pangan lokal.
2. Koherensi Spiritual-Ekologis (Rummi): “Janganlah kau puas dengan tampilan luarmu yang putih, tetapi miskin zat kehidupan”; Kembali pada kearifan pangan lokal sebagai bentuk syukur pada alam tropis, dan; Pangan bukan sekadar komoditas, tapi titipan Tuhan yang harus diolah dengan bertanggung jawab.
3. Investasi Human Capital (Becker); Setiap $1 investasi gizi = $35 return dalam produktivitas dewasa; Intervensi rice bran: turunkan stunting 12.3% dengan biaya $0.5/kapita/tahun.
4. Nudge Policy (Simon): Sertakan beras coklat dalam paket Bantuan Pangan sebagai default option; Edukasi melalui influencer lokal dan demonstrasi masak.
Simulasi 2030: Indonesia Sehat Berdaulat
Dengan implementasi strategi ini: Stunting turun dari 21.5% menjadi 15%; Penghematan devisa $1.5 miliar/tahun dari pengurangan impor gandum, dan; Pertumbuhan ekonomi tambahan 1.2%/tahun dari peningkatan produktivitas.
Seruan Aksi: Revolusi Dimulai dari Piring Kita
Kita tidak bisa mengubah sejarah, tapi bisa menulis masa depan. Setiap 1% peralihan ke beras coklat adalah: 1% tambahan zinc untuk melawan stunting; 1% tambahan serat untuk mencegah diabetes, dan; 1% tambahan kemandirian pangan untuk Indonesia.
Waktunya telah tiba untuk mengakhiri pengkhianatan nutrisi ini. Mari pulang ke beras coklat, pulang ke masa depan yang lebih sehat, pulang ke kedaulatan pangan yang sesungguhnya.
“Pangan adalah cerminan jiwa bangsa – pilih yang membersihkan tubuh dan menyucikan alam” (Adaptasi dari Rummi)
***
Noted:
Tropikanisasi adalah sebuah konsep transformatif yang merujuk pada proses mengangkat, memulihkan, dan memodernisasi kekayaan tropis—baik dalam pangan, budaya, ekonomi, maupun spiritualitas—sebagai fondasi kedaulatan dan keberlanjutan bangsa tropis seperti Indonesia.
Judul: Beras Coklat versus Beras Putih: Revolusi Piring untuk Indonesia Bebas Stunting
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas Info Penulis
Prof. Agus Pakpahan memimpin IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.

Di bawah kepemimpinan Agus Pakpahan, IKOPIN mendorong kemitraan strategis dan pembenahan tata kelola kampus, termasuk menyambut inisiatif pemerintah agar IKOPIN bertransformasi menuju skema Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkop UKM—sebuah langkah untuk memperkuat daya saing kelembagaan dan mutu layanan pendidikan. “Pendidikan yang berpihak pada kemajuan adalah jembatan masa depan,” demikian ruh visi yang ia usung.
Lahir di Sumedang, 29 Januari 1956, Agus Pakpahan menempuh S-1 di Fakultas Kehutanan IPB (1978) dan meraih M.S. Ekonomi Pertanian di IPB (1981). Ia kemudian meraih Ph.D. Ekonomi Pertanian dengan spesialisasi Ekonomi Sumber Daya Alam dari Michigan State University (1988). Latar akademik ini mengokohkan reputasinya di bidang kebijakan sumber daya alam, pertanian, dan pembangunan pedesaan. “Ilmu adalah cahaya; manfaatnya adalah sinar yang menuntun,” menjadi prinsip kerja ilmiahnya.
Kariernya panjang di pemerintahan: bertugas di Bappenas pada 1990-an, lalu dipercaya sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998–2002). Di tengah restrukturisasi, ia memilih mundur pada 2002—sebuah sikap yang tercatat luas di media arus utama.
Sesudahnya, Agus Pakpahan menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan (2005–2010), memperlihatkan kapasitasnya menautkan riset, kebijakan, dan bisnis negara. “Integritas adalah kompas; kebijakan adalah peta,” ringkasnya tentang tata kelola.
Sebagai akademisi-pemimpin, Agus Pakpahan aktif membangun jejaring dan kurikulum. Kunjungan kerja ke FEB UNY menegaskan orientasi penguatan kompetensi usaha dan koperasi, sementara di tingkat lokal ia melepas ratusan mahasiswa KKN untuk mengabdi di puluhan desa di Sumedang—mendorong pembelajaran kontekstual dan solusi nyata bagi masyarakat. “Belajar adalah bekerja untuk sesama,” begitu pesan yang kerap ia gaungkan pada kegiatan kampus.
Di luar kampus, kiprah Agus Pakpahan terekam dalam wacana publik seputar hutan, pertanian, ekonomi sirkular, dan perkoperasian—menginspirasi komunitas petani serta pemangku kepentingan untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong.
Esai dan pandangan Agus Pakpahan di berbagai media bereputasi menunjukkan konsistensinya pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Kemajuan tanpa keadilan hanyalah percepatan tanpa arah; keadilan memberi makna pada laju,” adalah mutiara yang merangkum jalan pikirannya.