Belajar Merdeka

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif

Merdeka
Ilustrasi: Merdeka dari belenggu penderitaan - (Sumber: Arie/BJN)

MajmusSunda News, Rubrik OPINI, Selasa (05/08/2025) Esai berjudul “Belajar Merdeka” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Saudaraku, delapan dekade lebih sudah penjajah menyingkir dari tanah ini. Namun, bayang-bayangnya masih menetap di dalam kepala kita—seperti asap yang menggumpal di ruangan tertutup, meski api telah lama padam.

Warisan paling getir dari kolonialisme bukan sekadar genangan darah atau tandasnya sumber daya. Hal yang paling menyakitkan justru yang tak kasat mata: perbudakan jiwa. Penjajahan senyap yang menyusup ke relung terdalam—merampas kejernihan akal, mencabut kedalaman rasa, mematikan manusia di pusat jatidirinya.

Prof. Yudi Latif
Prof. Yudi Latif – (Sumber: Koleksi pribadi)

Mental-kejiwaan adalah mata air kesadaran—dari sanalah mengalir ingatan, luka, harapan, arah, dan kehendak. Namun, di bawah genggaman kuasa penjajah, mata air itu menjadi keruh. Kita dijauhkan dari sumber asal, dikeringkan dari percaya, dan tercampakkan dari tanah tempat tumbuh.

Penjajahan boleh usai, tetapi residunya menetap dalam bentuk kesadaran yang tak utuh. Bangsa ini—meski merdeka di atas kertas—masih kerap kehilangan wajahnya di cermin. Kita sering lupa diri, ragu pada kemampuan, dan gentar untuk berdiri sendiri.

Maka, jiwa yang tak merdeka pun gamang: tak tahu ke mana, tak mampu menentukan bagaimana. Dalam kegamangan itu, lahirlah dua wajah dari jiwa terjajah.

Yang satu menjadi peniru: menyalin gerak tuannya, menengadah ke langit asing, melupakan bumi sendiri. Dalam bayang-bayang itu, ia menjadi konformis yang menanggalkan daya cipta, menjadi gema yang abai pada rasa dan harga diri.

Yang lain menjadi penurut: bukan hanya meniru, tetapi menyerahkan kendali jiwa. Ia menjelma hamba bagi kehendak luar, mengorbankan pilihan demi rasa aman palsu. Dari tanah ini tumbuh benih pecundang dan tiran—jiwa-jiwa yang rela dikendalikan demi kelangsungan yang semu.

Kemerdekaan sejati tak cukup diproklamasikan. Ia harus diperjuangkan—dalam benak dan tindakan, pilihan dan pendirian. Kita mesti terus belajar menjadi merdeka: mengenali diri, menjaga martabat, dan menempuh jalan meski tanpa petunjuk tuan.

Sebab merdeka bukan hanya soal lepas dari belenggu, tetapi keberanian menyalakan obor dalam diri, bersuara dengan lidah sendiri, melangkah dengan kaki sendiri, dan berdiri tegak di tanah keyakinan—meski dunia menoleh ke arah lain.

***

Judul: Belajar Merdeka
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang penulis

Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Prof. Yudi Latif
Prof. Yudi Latif – (Sumber: Koleksi pribadi)

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.

Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.

Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.

Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *