Teater Kontemporer — NEO Theatre Indonesia Gelar Teater “Dekonstruksi Minimalis Teks Dramatik Kapai-Kapai” Karya Arifin C. Noer

Teater Kontemporer
(Foto: Istimewa)

MajmusSunda News – Bandung, Sabtu (08/11/2025) – Teater Kontemporer yang menggunakan pendekatan tafsir dekonstruksi dan transformasi teks; dari teks dramatik (dramatic text), ke teks pertunjukan (performance text), dan ke mise en scène (baca: strategi & siasat khusus pertunjukan) berdasarkan lakon asli Kapai-kapai sebagai teks dramatik, karya dramawan Indonesia, Arifin C. Noer, ini akan digelar tanggal 12–13 November 2025, pukul 19.30 WIB di Auditorium IFI Bandung, Jalan Purnawarman No. 32, Bandung.

Acara yang diinisiasi NEO Theatre Indonesia ini didukung Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) RI, Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dalam Program Penciptaan Karya Kreatif Inovatif Dana Indonesiana 2025 atas nama Fathul A. Husein, bekerja sama dengan Institut Français Indonesia (IFI) Bandung dan Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan ISBI Bandung.

Teater Kontemporer
Sutradara Fathul A. Husein (Foto: Asep.GP)

Pertunjukan berdurasi satu jam lebih lima menit ini didukung para aktor: Retno Dwimarwati, Yani Mae, Hendra Permana, Muhamad Nur Rozzaq, Fellycha Yuliwanda Aletika, Xena Nursyifa, dan Salma Najiyah. Penari oleh Aulia Rachma dan Ardelia Manarina Faihaa Azhaar, vokalis & dalang oleh Sumartana, penata artistik & pimpinan pentas oleh Ade II Syarifuddin, penata busana & perancang grafis oleh Dita Rosmaritasari, penata rias oleh Mardaleni Muchtar, penata musik & suara oleh Isep Sepiralisman, penata lampu oleh Zamzam Mubarok, penata pentas oleh Ali Nurdin, Oki Suhendra, dan Mang Iwey. Dokumentasi foto & video oleh Herfan Rusando, Ade Daryana, dan Nietzani Adama Mahatma.

Sedangkan sesi diskusi pasca pertunjukan akan digelar selepas pertunjukan malam kedua (terakhir), yakni pada Kamis, 13 November 2025, pukul 20.45 hingga 22.15 WIB di tempat yang sama. Menghadirkan pembicara: Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto (Guru Besar Filsafat Seni FF UNPAR dan ahli metafor), Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang (Guru Besar Seni Rupa FSRD ITB dan ahli semiotika), dan Fathul A. Husein (sutradara pertunjukan).

Fathul A. Husein, sutradara sekaligus pimpinan NEO Theatre Indonesia, mengatakan pertunjukan teater kontemporer ini menekankan pendekatan tafsir dekonstruksi dan transformasi teks berdasarkan lakon Kapai-kapai karya dramawan Indonesia, Arifin C. Noer (1941–1995). Lakon dengan beberapa bagian penting dan verbalitas tekstual (dialog dan arahan pengarang) di dalamnya semata-mata dipinjam untuk menjadi lebih sebagai “peristiwa” pertunjukan daripada sekadar dominasi narasi verbal (kata-kata).

“Tema asli lakon tentang nasib kaum marginal yang miskin dan sengsara, sebagai korban yang tak terelakkan (baca: harus diciptakan) dari kekuasaan era industrialisasi dan kemajuan/modernitas dalam cengkeraman gurita raksasa kapitalisme, melalui konsep pertunjukan ini ditransformasikan menjadi kekuatan dramatis: simbolisme gestur/gerak, surealisme imajinatif, yang dijalin dengan musikalitas minimalis dan tembang-tembang tradisional (yang aslinya lebih berfungsi sebagai mantra) untuk menandai kelam dan getirnya kehidupan, tentang peniadaan jati diri manusia dan kemanusiaan yang menjadi pesan inti lakon,” ucap Fathul A. Husein dalam keterangannya, Jumat (7/11/2025).

Kata Fathul, intertekstualitas dengan kearifan filsafat Timur seperti Lao Tzu juga merasuk ke dalam jiwa pertunjukan kontemporer ini. Idiom bentuk seni teater tradisional yang dipinjam melalui pertunjukan ini setidaknya adalah teater tradisional Tarling (mengandung unsur drama, musik, dan lagu), Sintren (mengandung unsur tari, musik, dan mitos bidadari), dan Wayang Kulit (teater boneka bayang-bayang yang lumrahnya berlandaskan kearifan kisah Ramayana atau Mahabharata), di mana ketiga jenis teater tradisional tersebut terutama diambil dari sumber yang berasal dari wilayah pesisir utara Jawa Barat.

“Bertolak dari lakon Kapai-kapai: bagaimana sebuah lakon (dramatic text) dipahami, ditafsirkan, dan ditransformasikan ke atas panggung menjadi performance text dengan menerapkan pendekatan strategi & siasat pemanggungan yang terkonsep secara kokoh dan mumpuni (mise en scène),” tandasnya.

Dengan meminjam teori Patrice Pavis, ahli semiotika teater Prancis, sebagaimana termaktub dalam bukunya Theatre at the Crossroads of Culture (1992), konsep pertunjukan teater kontemporer ini dipahami, direkacipta, dan diberlangsungkan. Bagaimana hubungan antara dramatic text, performance text, dan mise en scène, sebagai proses krusial transformasi teks dan penciptaan teater, diyakini dan dipraktikkan sebagai ihwal yang dinamis.

“Lakon Kapai-kapai, dalam hal ini sebagai teks dramatik, merupakan cetak biru untuk pertunjukan, sebuah ‘materi penanda yang menunggu makna’ (meminjam istilah Pavis), karya sastra yang berpotensi untuk dipentaskan berkali-kali, tetapi bukan produk artistik yang bersifat final dan kerap disebut sebagai teks yang tidak lengkap lantaran potensi penuhnya baru terwujud dalam pertunjukan,” ujar Fathul.

Menurutnya, naskah sastra tertulis—terdiri dari dialog-dialog, arahan pemanggungan, dan elemen verbal lainnya—dimaksudkan untuk dipentaskan, tetapi baru menjadi bermakna sepenuhnya ketika dipentaskan di atas panggung. Teks ini adalah “pra-teks” (pre-text) atau bahan mentahnya.

“Keseluruhan peristiwa teater itu sendiri adalah produk akhir, sebuah sistem tanda verbal dan nonverbal yang kompleks dan tercipta selama proses pementasan; mencakup segala sesuatu yang dilihat dan didengar oleh penonton: tuturan (dialog) dan tubuh aktor, gerakan dan suara aktor, pencahayaan, musik, suara, kostum, rias, desain set, dan properti pentas. Ini adalah teks yang kaya dan berlapis-lapis yang mengubah teks dramatik menjadi realitas yang unik dan konkret. Teks pertunjukan merupakan hasil pilihan sutradara dan karyacipta semua kolaborator, bukan sekadar tiruan dari teks drama,” jelasnya.

Lanjut Fathul, proses yang menjembatani kesenjangan antara teks dramatik dan teks pertunjukan adalah konsep pemanggungan yang abstrak dan teoretis—prinsip-prinsip pengorganisasian dan sistem pilihan yang digunakan sutradara dan para desainer untuk mengubah naskah menjadi sebuah pertunjukan. Mise en scène lebih dari sekadar menempatkan sesuatu di atas panggung, melainkan proses interpretatif aktif di mana sutradara membaca teks dramatik dan membuat serangkaian pilihan artistik untuk menciptakan makna. Pilihan-pilihan ini, yang melibatkan seluruh elemen visual dan auditori pemanggungan, membentuk sistem tanda baru yang kohesif.

Hubungan antara dramatic text, performance text, dan mise en scène bukan sebagai terjemahan sederhana, melainkan sebagai konfrontasi sistem semiotik yang kompleks dan dinamis. Mise en scène merupakan konsep sentral dalam hubungan ini dan medium utama yang menghidupkan sebuah lakon. Ia menyatukan semua sistem penandaan yang berbeda dalam pertunjukan sebagai jiwa teater dan laboratorium persilangan budaya.

“Pertunjukan teater kontemporer ‘Dekonstruksi Minimalis Kapai-Kapai’ ini menggunakan pendekatan simbolis-metaforistik yang menantang makna-makna dan struktur-struktur yang tetap dan pasti. Pendekatan yang melibatkan penafsiran mendalam untuk menciptakan estetika minimalis pertunjukan, namun dengan tujuan meraih bobot makna filosofis melalui jalinan sistem tanda, simbol, dan metafor. Peristiwa-peristiwa intertekstualitas dan berkelindannya perlintasan (bahkan ‘tabrakan’) entitas budaya yang beragam tentu menjadi tak terhindarkan,” tegasnya.

Selain mengeksplorasi asumsi dasar tematik tentang hegemoni kapitalisme yang menciptakan dehumanisasi dan “peniadaan” (annihilation) kaum yang kalah dan terpinggirkan (kaum marginal). Dalam konteks tematik ini, siapa pun bisa berada dalam rotasi/siklus nasib untuk tergilas roda raksasa kapitalisme. Seseorang bisa berada di atas sebelum kemudian terjungkal ke comberan kehidupan dan begitu seterusnya. Melalui bentuknya yang sederhana (minimalis), pertunjukan yang dihasilkan melalui telaah dan eksperimentasi ini beritikad mengungkap potensi kompleksitas lakon asli, atau kontradiksi-kontradiksi yang tersembunyi di dalam lakon tersebut, dengan menghapus elemen yang tidak perlu dan fokus pada hal yang esensial.

“Keseluruhan teks lakon asli hanya digunakan sekitar sepertiga dari keseluruhan teks sebelum kemudian mendapat sentuhan intertekstualitas dari beberapa entitas teks dan konteks dari luar yang merasuk ke dalam teks asli tersebut,” pungkas Fathul.

Judul: Teater Kontemporer — NEO Theatre Indonesia Gelar Teater “Dekonstruksi Minimalis Teks Dramatik Kapai-Kapai” Karya Arifin C. Noer
Jurnalis: Asep GP
Editor: Parkah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *