Nasi yang Menentukan Takdir Bangsa: Sebuah Cerita tentang Harapan Bangkitnya Kesadaran

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

Ilustrasi: Seorang nenek sedang berbicara dengan cucu perempuannya yang sedang sarapan - (Sumber: Arie/MMSN)
Ilustrasi: Seorang nenek sedang berbicara dengan cucu perempuannya yang sedang sarapan - (Sumber: Arie/MMSN)

MajmusSunda News, Kolom Artikel/Opini, Selasa (16/09/2025) – Artikel Serial Tropikanisasi dan Kooperatisasi berjudul “Nasi yang Menentukan Takdir Bangsa: Sebuah Cerita tentang Harapan Bangkitnya Kesadaran” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Prolog: Peringatan dari Masa Depan

Di sebuah sore di tahun 2045, seorang anak perempuan bertanya kepada neneknya,  “Nek, kenapa zaman dulu banyak anak yang tidak bisa belajar dengan baik?”

Sang nenek menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca, “Cucuku, dulu kita terlalu sibuk memutihkan nasi, sampai lupa bahwa yang kita buang adalah masa depanmu.”

Ilustrasi: Seorang nenek sedang berbicara dengan cucu perempuannya yang sedang sarapan - (Sumber: Arie/MMSN)
Ilustrasi: Seorang nenek sedang berbicara dengan cucu perempuannya yang sedang sarapan – (Sumber: Arie/MMSN)

Bagian 1: Pengakuan Sebuah Kesalahan Besar

Kita adalah generasi yang terjebak dalam ilusi. Selama 50 tahun, kita menyangka bahwa putih berarti bersih, putih berarti kaya, putih berarti modern. Namun, alam bawah sadar kita sebenarnya tahu bahawa Setiap kali kita menyantap nasi putih, ada suara kecil yang bertanya, “Apa ini yang terbaik untuk anak-anak kita?”; Setiap kali kita melihat beras coklat dianggap kampungan, hati kita berbisik,  ada sesuatu yang tidak beres dengan cara berpikir kita.

Data mengungkap kenyataan pahit: Setiap satu menit, ada dua balita Indonesia yang perkembangannya terganggu karena kekurangan zinc dari nasi putih; Setiap satu jam, 12 keluarga harus mengeluarkan biaya berobat karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah oleh serat dalam beras coklat; Setiap satu hari, bangsa ini kehilangan lima poin IQ kolektif karena magnesium yang terbuang.

Bagian 2: Warisan Leluhur yang Terlupakan

Nenek moyang kita tidak pernah salah. Mereka menyebut beras sebagai “butir-butir kehidupan”. Christiaan Eijkman, pemenang Nobel dari Batavia ─ sekarang Jakarta, justru belajar dari nenek moyang kita. Ia menemukan bahwa beras utuh menyembuhkan beri-beri, sementara beras putih justru menyebabkan penyakit.

Namun, kita sebagai generasi modern, lebih percaya pada tampilan daripada substansi. Kita lebih memilih yang putih dan bersih, daripada yang coklat dan bergizi. Kita memilih enak sambil membohongi diri harapan datangnya penyakit.

Bagian 3: Matematika Kesadaran yang Terlambat

Coba hitung dengan hati nurani: Butuh 17 ton beras putih untuk memenuhi kebutuhan zinc 1000 balita, tetapi hanya perlu tujuh ton beras coklat untuk kebutuhan yang sama. Artinya, kita membuang 10 ton potensi gizi setiap 1000 balita

Setiap butir beras yang disosoh adalah: 1% lebih putih; 1% lebih miskin zinc; 1% lebih miskin magnesium, dan 1% lebih dekat dengan stunting.

Bagian 4: Mimpi yang Bisa Kita Wujudkan Bersama

Bayangkan ini di tahun 2045: Seorang ibu di Papua tidak lagi menangis karena anaknya tidak bisa berkonsentrasi di sekolah; Seorang bapak di Jakarta bisa menyekolahkan tiga anaknya karena tidak ada biaya berobat; Sepetak sawah di Jawa bukan hanya menghasilkan beras, tetapi menghasilkan kecerdasan bangsa. Ini bukan mimpi. Ini pilihan.

Bagian 5: Jalan Keluar yang Sudah Menunggu

Kita tidak perlu: Teknologi canggih; Anggaran triliunan, dan; Tenaga ahli asing.

Kita hanya perlu: Keberanian untuk mengakui kesalahan; Kerendahan hati untuk belajar dari nenek moyang; Kecerdasan untuk membaca ilmu pengetahuan, dan; Iman untuk bersyukur pada nikmat Allah yang utuh.

 

Bagian 6: Seruan untuk Perubahan

Untuk Pengambil Kebijakan: Dengarkan suara ibu-ibu Indonesia yang ingin anaknya sehat. Dengarkan bisikan petani yang ingin hasilnya dihargai. Dengarkan teriakan ilmuwan yang sudah membuktikan kebenaran; Untuk Masyarakat: Setiap piring nasi adalah pilihan.Setiap butir beras adalah suara. Mari kita pilih yang membuat anak cucu kita bangga pada kita kelak.

Epilog: Warisan Kita untuk 2045

Suatu hari nanti, ketika anak-anak kita bertanya, “Apa yang kalian lakukan ketika tahu beras putih merusak generasi?”

Kita bisa jawab dengan bangga, “Kami mengubahnya.Kami memilih beras coklat. Untuk kalian.”

Atau kita akan terdiam malu, karena memilih tetap dalam kesalahan. Pilihan ada di piring kita hari ini.

***

Tulisan ini terinspirasi oleh: Kearifan nenek moyang nusantara; Temuan Christian Eijkman tentang beri-beri; Data defisiensi zinc dan magnesium terkini;  Q.S. An-Nahl: 114 tentang syukur nikmat, dan sabda Nabi Muhammad saw tentang kesehatan sebagai nikmat terbesar.

Noted:

Tropikanisasi adalah sebuah konsep transformatif yang merujuk pada proses mengangkat, memulihkan, dan memodernisasi kekayaan tropis—baik dalam pangan, budaya, ekonomi, maupun spiritualitas—sebagai fondasi kedaulatan dan keberlanjutan bangsa tropis seperti Indonesia.

Judul: Nasi yang Menentukan Takdir Bangsa: Sebuah Cerita tentang Harapan Bangkitnya Kesadaran
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas Info Penulis

Prof. Agus Pakpahan memimpin IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.

Prof. Agus Pakpahan
Prof. Agus Pakpahan, Penulis: (Sumber: Arie/MMSN)

Di bawah kepemimpinan Agus Pakpahan, IKOPIN mendorong kemitraan strategis dan pembenahan tata kelola kampus, termasuk menyambut inisiatif pemerintah agar IKOPIN bertransformasi menuju skema Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkop UKM—sebuah langkah untuk memperkuat daya saing kelembagaan dan mutu layanan pendidikan. “Pendidikan yang berpihak pada kemajuan adalah jembatan masa depan,” demikian ruh visi yang ia usung.

Lahir di Sumedang, 29 Januari 1956, Agus Pakpahan menempuh S-1 di Fakultas Kehutanan IPB (1978) dan meraih M.S. Ekonomi Pertanian di IPB (1981). Ia kemudian meraih Ph.D. Ekonomi Pertanian dengan spesialisasi Ekonomi Sumber Daya Alam dari Michigan State University (1988). Latar akademik ini mengokohkan reputasinya di bidang kebijakan sumber daya alam, pertanian, dan pembangunan pedesaan. “Ilmu adalah cahaya; manfaatnya adalah sinar yang menuntun,” menjadi prinsip kerja ilmiahnya.

Kariernya panjang di pemerintahan: bertugas di Bappenas pada 1990-an, lalu dipercaya sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998–2002). Di tengah restrukturisasi, ia memilih mundur pada 2002—sebuah sikap yang tercatat luas di media arus utama.

Sesudahnya, Agus Pakpahan menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan (2005–2010), memperlihatkan kapasitasnya menautkan riset, kebijakan, dan bisnis negara. “Integritas adalah kompas; kebijakan adalah peta,” ringkasnya tentang tata kelola.

Sebagai akademisi-pemimpin, Agus Pakpahan aktif membangun jejaring dan kurikulum. Kunjungan kerja ke FEB UNY menegaskan orientasi penguatan kompetensi usaha dan koperasi, sementara di tingkat lokal ia melepas ratusan mahasiswa KKN untuk mengabdi di puluhan desa di Sumedang—mendorong pembelajaran kontekstual dan solusi nyata bagi masyarakat. “Belajar adalah bekerja untuk sesama,” begitu pesan yang kerap ia gaungkan pada kegiatan kampus.

Di luar kampus, kiprah Agus Pakpahan terekam dalam wacana publik seputar hutan, pertanian, ekonomi sirkular, dan perkoperasian—menginspirasi komunitas petani serta pemangku kepentingan untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong.

Esai dan pandangan Agus Pakpahan di berbagai media bereputasi menunjukkan konsistensinya pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Kemajuan tanpa keadilan hanyalah percepatan tanpa arah; keadilan memberi makna pada laju,” adalah mutiara yang merangkum jalan pikirannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *