MajmusSunda News, Sabtu (04/01/2025) – Artikel berjudul “Kesenyapan Ketidakpercayaan” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, dalam gemuruh kerumunan, negeri ini terasa kian senyap. Bukan karena tak ada keriuhan suara, tapi sulit menemukan suara yang jelas dan pantas didengar. Pembicara tak menemukan pendengar percaya. Pendengar tak menemukan pembicara terpercaya.
Krisis kepercayaan adalah senyap yang memekakkan, sebuah retakan halus yang perlahan menjalar, meruntuhkan fondasi yang pernah kokoh. Ibarat badai sunyi yang menggulung jiwa, menghantam pelabuhan-pelabuhan kecil tempat berlindung.
Ia datang tanpa peringatan, meruntuhkan jembatan-jembatan yang pernah dibangun dengan tangan penuh harap, menyisakan reruntuhan pecahan janji, serpihan harapan, dan gema bisu dari kejujuran yang pudar. Ia menggulung seperti kabut tebal pagi hari, menyelimuti segala arah, membuat kita ragu pada setiap langkah. Apa yang dulu terasa pasti kini menjadi teka-teki, penuh bayang kebimbangan.
Dalam krisis kepercayaan ini, kata-kata kehilangan makna, janji menjadi gema yang hampa. Mata yang dulu kau percaya kini terasa asing, seperti cermin retak yang memantulkan bayangan tak utuh, membuatmu meragukan siapa pun.
Segalanya terasa seperti teka-teki tanpa akhir. Kata-kata yang dulu hangat kini terdengar dingin, bak angin malam yang menusuk. Tatapan yang pernah menjadi pelipur lara berubah menjadi bayangan samar, tak lagi mengundang rasa aman. Setiap detik adalah pergulatan, antara ingin percaya lagi atau menyerah pada keraguan.
Kepercayaan adalah benang halus yang menenun hubungan, tetapi saat ia terputus, dunia terasa sunyi. Tak ada lagi pelukan hangat, hanya dingin yang menyelinap ke dalam dada. Hati yang pernah terbuka kini menjadi benteng berdinding tinggi dengan gerbang terkunci.
Namun, di tengah reruntuhan itu, ada pelajaran yang diam-diam berbisik. Bahwa kepercayaan bukanlah hadiah, melainkan proses. Ia tumbuh perlahan, bak tunas kecil yang mencari cahaya. Kendati krisis ini menyesakkan, ia adalah panggilan untuk menata ulang, untuk memulai kembali, bukan dengan janji, tetapi dengan ketulusan. Krisis ini juga cermin yang memaksa kita menatap diri sendiri, menelusuri retakan yang tak hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam. Berani jujur pada nurani sendiri sebagai basis pemulihan kepercayaan publik.
***
Judul: Kesenyapan Ketidakpercayaan
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***