MajmusSunda News, Sabtu (24/05/2025) – Artikel berjudul “Hadir dan Mengalir” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, hidup ini adalah aliran air yang tak pernah berhenti mencari muara. Ia hadir diam-diam, lalu mengalir tanpa pamit—membasahi setiap jejak tanah, menyeberangi waktu, menyapa zaman. Seperti pesan peribahasa Sunda yang bijak: lumaku kudu mindung ka waktu, mibapa ka zaman—melangkahlah seiring waktu, berlindunglah dalam naungan zaman.

Namun betapa sering kita mendirikan tenda di zona nyaman, mengawetkan masa lalu seperti fosil yang disembah, seraya menutup gerbang masa depan. Padahal, waktu tak menunggu. Ia seperti sungai: tak pernah terputus dari hulu, namun selalu menari menuju hilir. Zaman pun berubah, seperti langit yang tak pernah tinggal satu warna.
Di antara derasnya arus, dua kebebalan mengadang jalan: yang satu memuja yang tua seolah tua selalu bijak, yang lain menyanjung yang muda seolah baru selalu lebih baik. Padahal, hakikatnya bukan soal usia, melainkan hikmah—apa yang mendewasakan dari yang lama, dan apa yang mencerahkan dari yang baru. Maka, bersikaplah bijak: genggam yang arif dari masa silam, petik yang mulia dari tunas masa depan.
Kita hanyalah anak-anak sang waktu, dilahirkan dari rahim detik, dibesarkan oleh perjumpaan demi perjumpaan. Kita singgah di simpang-simpang sejarah, lalu kembali mengalir, tanpa pernah benar-benar menetap.
Waktu dan ruang bukanlah rumah abadi. Mereka hanyalah lorong-lorong pertanyaan, tempat jeda menjelma pintu dan pintu menyisakan teka-teki. Namun, jangan pernah anggap sepi jejakmu. Samudera pun memulai takdirnya dari setetes hujan.
Setiap kata yang kau bisikkan bisa menyalakan kembali pelita harapan di lorong kecemasan. Setiap senyuman yang kau torehkan adalah cahaya pagi di tengah malam keputusasaan. Dan setiap darma yang kau titipkan pada semesta adalah angin yang membangkitkan layar kapal dari tidur panjangnya.
Pengembaraan ini telah kau tempuh seumur hidup. Teruslah melangkah, meski peta tak selalu lengkap. Teruslah mengalir, meski muara belum tampak. Sebab dalam arus itulah hidup menemukan maknanya—bukan pada akhir, melainkan pada kesediaan untuk hadir dan mengalir.
***
Judul: Kurikulum Cinta
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.
Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.