Sejarah Pagebug di Tatar Sunda – Bagian 3

Artikel ini ditulis oleh: dr. Dicky Budiman, M.Sc. PH., PhD.

Vaksin cacar zaman Belanda
Ilustrasi: Masyarakat Cirebon saat menerima vaksin cacar pada zaman Belanda - (Sumber: Universitas Leiden)

MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (22/10/2024) – Artikel dalam berjudul “Sejarah Pagebug di Tatar Sunda – Bagian 3” ini ditulis oleh: Dicky Budiman, Dokter (Unpad), Epidemiolog (Griffith Univ), Environmental Health (Griffith Univ), PhD Peneliti Global Health Security (Pandemic, Leadership, Risk Comm) Center for Environment and Population Health Griffith University – Australia, dan Anggota Forum Dewan Pakar Riset, Ketenagakerjaan, UMKM dan Pemberdayaan Masyarakat, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Sejarah Pagebug Tanah Sunda pada Era Kolonialisme

Pagebug selain pernah terjadi di era sebelum kolonialisme, juga semakin tercatat jelas pada masa kolonialisme khususnya era Hindia Belanda. Ada banyak warisan sejarah, baik itu berbentuk tulisan maupun lisan yang menceritakan kalau penduduk Jawa termasuk Sunda pernah terkena pagebug pada masa lalu. Menurut manuskrip  terdapat beberapa jenis pagebug yang pernah melanda tanah Jawa seperti gudik (kudis), kolera, influenza sampai tuberkulosis.

Cacar variola atau smallpox adalah salah satu pagebug yang membuat masyarat Pasundan dicekam ketakutan. Bahkan, sebagian warga mengaitkan kehadiran penyakit cacar ini dengan munculnya sosok makhluk gaib atau jurig kuris. Het Nieuws Van De Dag pada 20 Maret 1929 memuat pernyatan Dr. Winckel, Inspektur Departemen Kesehatan untuk Jawa Barat, tentang persoalan cacar. Koran itu menulis terdapat 27 kasus cacar di Jabar.

Upaya merespon wabah antara lain dilakukan dengan penyediaan lembaga penelitian vaksin. Pada 1896 Hindia Belanda pada akhirnya memiliki lembaga pembuatan vaksin sendiri di tanah jajahannya dengan didirikannya Parc Vaccinogen Instituut Pasteur, Bandung.

Tahun 1918, lembaga pembuatan vaksin cacar dipindahkan ke Bandung, bersatu dengan Instituut Pasteur, dan berubah nama menjadi Landskoepok Inrichting en Instituut Pasteur (kini Bernama Biofarma). Kemandirian vaksin ini berhasil mengantarkan Hindia Belanda menyempurnakan vaksin pada tahun 1930-an dengan menemukan vaksin kering oleh dr. Louis Otten.

Setelah penemuan tersebut, Hindia Belanda sempat dinyatakan berhasil menangani wabah cacar yang sudah ada selama empat abad.

Selain itu, di tanah sunda, tidak hanya cacar, pagebug lain yang merenggut banyak nyawa adalah pes atau sampar. Wabah tersebut tercatat dalam sejarah telah menimbulkan kematian dari warga biasa, tenaga medis seperti mantri kesehatan, hingga pejabat pemerintah seperti asisten wedana.

Wabah pes atau sampar ini membuat warga  ketakutan. Wabah pes di Jabar mulai menyeruak sekitar tahun 1921. Bataviaasch Nieuwsblad dalam beritanya, 19 Desember 1932, menyebut pes di Jabar bermula saat sebuah kapal laut bermuatan beras dari Indocina merapat di Pelabuhan Cirebon pada 1921.

Tikus-tikus dari kapal itu menularkan bibit-bibit pes yang tak hanya menjalar di Cirebon di mana kapal berlabuh, tetapi juga ke Kuningan dan Tasikmalaya, serta Ciamis pada 1927, Garut pada 1928, Bandung pada 1929, dan juga mencapai Cianjur.

Wilayah Priangan pernah mengalami pagebug hebat penyakit sampar selama setahun (1933-1934). Akibat penyakit yang disebut juga sebagai pes itu, menurut Terence H.Hull dalam Death and Disease in Southeast Asia (disunting oleh Norman Owen) kurang lebih 15.000 orang meregang nyawa.

Berita De Locomotief pada 23 Februari 1935 mencatat, wabah pes atau sampar di Hindia Belanda mencapai 23.267 kasus. Tercatat 20.597 kasus pes terjadi di Jawa Barat saja, dan sebanyak 20.569 di antaranya berakibat kematian.

Kasus-kasus pes berujung kematian juga terjadi di Tasikmalaya dan Garut. Dalam pemberitaan De Tijd pada 23 Februari 1936, sebanyak‎ 12.968 orang meninggal akibat wabah pada 1935 di seluruh Hindia Belanda. Sementara di Jabar mencapai 10.304 orang, termasuk di Garut dengan 4108 orang, Bandung 4034 orang, Tasimalaya 1213, dan Sumedang 604. Kasus-kasus kematian dari golongan hamba sahaya, tenaga medis, hingga kaum bangsawan juga terjadi di Tasikmalaya dan Garut.

Berita De Standaard, 25 April 1933, memberitakan kematian Asisten Wedana Kota Garut, Raden Kanduruan Kartanegara, akibat pes. Het Nieuws Van De Dag pada 8 September 1932 dan De Indische Courant pada 11 Juni 1934 masing-masing turut mencatat keganasan pes di Tasikmalaya. Sasalad pes merebak juga di distrik Ciawi dalam catatan Het Nieuws Van De Dag, 22 Agustus 1929. Koran tersebut menulis sebanyak 18 mayat dikubur di Ciawi secara sembunyi karena dugaan mengidap pes.

Pagebug dahsyat pes dihadapi Pemerintah Kolonial Belanda dengan membongkar rumah-rumah warga yang dianggap tak sehat. Namun kebijakan tersebut tidak disertai dengan penyediaan rumah yang lebih sehat, yang artinya menimbulkan masalah baru.

Begitu traumanya orang-orang Priangan hingga mereka selalu merasa jijik dengan binatang tikus yang dikatakan sebagai pembawa patogen yersinia pestis (penyebab sampar). Dalam bencana itu, Garut termasuk kawasan yang menyumbangkan korban agak besar. Dalam catatan Adrianus Bonnebaker dalam Over Pest, selama setahun wabah sampar merajalela, ratusan warga Garut telah meregang nyawa akibatnya. Tragedi itu menimbulkan trauma yang mendalam hingga puluhan tahun kemudian.

Penggunaan Senjata “Biologis” di Tatar Sunda

Pada masa Perang Kemerdekaan (1945-1949), tentara Indonesia yang berada di Garut, tercatat menggunakan bakteri yersinia pestis sebagai senjata biologis untuk meneror mental prajurit-prajurit Belanda.

Ketakutan tentara Belanda terbukti, sehingga mereka sangat menghindari apapun yang terkait dengan ‘hantu sampar’, termasuk tikus-tikus. Namun, bagi para pejuang Indonesia di Garut, situasi itu menjadi peluang untuk perang urat syaraf.

Komandan Kesatuan Pasoekan Pangeran Papak (PPP) yang kali pertama memiliki ide untuk menjadikan tikus sebagai senjata biologis dengan cara karung-karung berisi tikus dibawa ke wilayah pos-pos militer Belanda saat malam hari.

Kemudian, binatang pengerat itu dilepaskan dan dibiarkan masuk ke markas pasukan Belanda. Hal ini dilakukan berulang setiap minggu. Termasuk untuk mencegah pengejaran yang dilakukan militer Belanda terhadap pejuang tanah air.

Sejarah Pagebug Tanah Sunda Paska Kemerdekaan

Persoalan buruknya sanitasi lingkungan, meningkatnya aktifitas perekonomian antar wilayah dan populasi warga yang merangkak naik ditengarai menjadi musabab berbagai wabah mendera Jawa Barat (Jabar).

Dalam buku karya Us Tiarsa berjudul ”Basa Bandung Halimunan” disebutkan  pagebug cacar merebak pada tahun 1950-an di Bandung. ”Loba pengeusi Bandung nu katarajang kuris, ceuk kolot mah usum pagebuk cenah, da loba pisan nu geuring, pangpangna keuna ku sasalad cacar “ (banyak warga Bandung terserang cacar, orang-orang tua saat itu menyebutnya musim pagebug karena banyaknya yang terserang cacar).

De Preanger Bode menulis dua kejadian pagebug cacar, yaitu tahun 1949, dengan 23.719 kasus cacar terjadi di Jawa Barat, dan 2.240 di antaranya berakibat kematian. Serta ledakan kasus cacar pada 1950, dengan 3.747 kasus cacar terjadi, yang 198 di antaranya mengakibatkan kematian.

Java Bode melaporkan tahun 1954 terjadi penurunan kasus cacar menjadi 32 kasus dengan satu orang meninggal di Jabar. Kasus-kasus tersebut banyak terjadi di Kabupaten Garut yang tindakan pencegahannya belum terwujud dengan baik. Namun, korban meninggal di Jabar kembali melonjak hingga 514 orang dalam pemberitaan ‎ Het Vrije Volk yang mengutip Reuter pada 9 November 1962.

Kabupaten Sukabumi, adalah salah satu wilayah endemis Malaria. Tingkat Plasmodium falciparum dan P. vivax malaria telah meningkat sejak tahun 1998. Di Kabupaten Sukabumi dilaporkan satu kasus malaria di 1998, namun pada tahun 2003 jumlah tersebut meningkat menjadi 1.790 kasus (Kemenkes RI, data tidak dipublikasikan). Di 2003 ada 17 kematian akibat P. falciparum di Simpenan kecamatan saja. Semua kasus malaria mematikan di Sukabumi berada di desa pesisir. (Stoops et al., 2009).

Vektor utama malaria di  Jawa Barat adalah Anopheles aconitus, Anopheles maculatus, dan Anopheles sundaicus. Anopheles aconitus ditemukan di dataran tinggi yang berasosiasi dengan sawah terasering, An. maculatus berasosiasi dengan daerah perbukitan dengan larva yang ditemukan di aliran sungai dan kolam kecil lainnya, dan An. sundaicus adalah spesies pesisir yang berasosiasi dengan tempat perkembangbiakan air payau. Di Sukabumi, An. maculatus bisa ditemukan sepanjang tahun, eksofilik dengan puncak gigitan antara pukul 23:00-24:00 malam.

Penyebab pagebug malaria seperti yang terjadi di Sukabumi, adalah karena urang sunda yang aktif dan bekerja di berbagai tempat, bepergian ke pulau-pulau lain  untuk bekerja, seperti Kalimantan atau Papua, dengan tingkat penularan malaria yang lebih tinggi, dan banyak diantara mereka yang terinfeksi malaria dan kembali untuk tinggal bersama keluarga mereka di Sukabumi. Faktor inilah yang menjadi alasan di balik pagebug  lokal penyakit Malaria pada tahun 2003.

Indonesia adalah salah satu negara hiper-endemik Demam Berdarah  (DBD/DHF/Dengue Haemorrhagic Fever dengue di Asia Tenggara di mana keempat serotipe dengue bersirkulasi, sehingga menyebabkan risiko infeksi yang lebih besar dan lebih tinggi beban penyakit.

Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang paling banyak penduduknya di Indonesia, dan kasus infeksi demam berdarah juga sangat endemik di tatar sunda. Sejak tahun 2000-an, kejadian tersebut telah meningkat secara dramatis dari 13/100.000 pada tahun 2000 menjadi 79/100.000 pada 2016.

Semua kabupaten dan kota di provinsi ini berisiko tinggi untuk penularan DBD. (Astuti et al., 2019). Mayoritas Infeksi DBD terjadi  lebih tinggi selama musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau, menyoroti bahwa iklim berperan peranan penting dalam penularan DBD di wilayah ini.

Jawa Barat merupakan provinsi di Indonesia yang paling parah terkena dampak wabah HPAI H5N1 (Flu Burung) pada 2011-2015, karena memiliki kepadatan unggas tertinggi, perdagangan unggas intensif dan sektor unggas terdiri dari berbagai jenis unggas, termasuk itik.   KLB terjadi di tujuh kabupaten Provinsi Jawa Barat : Bandung, Ciamis, Indramayu, Subang, Sukabumi, Purwakarta, dan Tasikmalaya

Paska wabah Flu Burung, tahun 2015-2016 HPAI A(H5N1) dinyatakan masih endemik di Jawa Barat, khususnya pada itik dan pada ayam pekarangan. Meskipun sirkulasi endemik, morbiditas dan mortalitas yang tercatat dan diamati masih tinggi. Selain itu, adanya interaksi yang tinggi antara manusia dan unggas akibat mengunjungi peternakan unggar berkorelasi dengan kemungkinan infeksi HPAI (Karo-karo et al., 2019). (Bersambung …)

***

Sekilas tentang penulis

Dicky Budiman adalah seorang  dokter – Ahli Epidemiologi dan Ahli Kesehatan Lingkungan,
PhD Researcher Global Health Security, Leadership dan Risk Communication. Ia juga bekerja sebagai Penasehat Pemulihan Pandemi Menparekraf Republik Indonesia, Panel Ahli Pemulihan Pandemi WHO, dan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Periode 2022-2025.

dr. Dicky Budiman, M.Sc. PH., PhD.
dr. Dicky Budiman, M.Sc. PH., PhD., penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Pria kelahiran Bandung, 9 September 1971 ini bernah menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK) di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Kemudian menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Moh. Toha Kota Bandung dan SD Negeri 1 Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Selanjutnya Dicky bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Rangkabitung, Kabupaten Lebak dan Sekolah Menengah Atas (SMA)  BPI 1 Bandung.

Pendidikan tinggi Dicky dimulai di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Lau ia meneruskan pendidikan pascasarjana dengan mengambil gelar Master Epidemiologi dan Kesehatan Lingkungan di Griffith University, Australia. Pendidikan S3-nya dengan gelar PhD program Global Health Security diperolehnya di Griffith University, Australia.

Pria berdarah Sunda ini memiliki 24 tahun pengalaman kerja di berbagai Lembaga Nasional dan Global, yaitu Kemenkes, Bappenas, BPJS Kesehatan, Dinkes Kabupaten Tasikmalaya, Sekretariat ASEAN, Sekretariat OKI, UNDP, APEC, UNODC, dan WHO.

Selain itu, Dicky juga terlibat dalam beragam isu kesehatan global dan nasional, antara lain SARS, HIV & AIDS, Swine Flu, Flu Burung, IHR 2005, Diplomasi Kesehatan Global, ASEAN Charter, Renstra OKI, Misi Kesehatan di wilayah konflik, pembangunan RS ABMEC Paska Bom Bali, Pembangunan RS di Gaza Palestina, Program MDGs & SDGs, penyelesaian NAMRU dan GHSA. Saat ini menjadi narasumber media dan pemerintah untuk pengendalian Pandemi COVID-19 di Kawasan ASEAN dan Asia Pasifik.

Jejak karir dimulai dari Kepala Puskesmas Cisaruni di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat, kepala Kerja Sama Teknik dan Perjanjian Internasional, Kepala Kerja Sama Bilateral Kesehatan Kemenkes, dan National Project Officer Kantor MDGs Bappenas hingga terakhir menjadi Sekretaris Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.

***

Judul: Sejarah Pagebluk di Tatar Sunda – Bagian 3
Penulis: dr. Dicky Budiman, M.Sc. PH., PhD.
Editor: Jumari Haryadi

Baca juga: Sejarah Pagebug di Tatar Sunda – Bagian 1
Baca juga: Sejarah Pagebug di Tatar Sunda – Bagian 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *