MajmusSunda News, Jum’at (06/06/2025) – Artikel berjudul “Pulih” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, tepat di hari raya Idul Adha—hari penyerahan paling sunyi kepada Yang Maha Pengasih—aku terbangun dari pembaringan yang kusam, dan untuk pertama kalinya sejak waktu yang terasa entah-berapa-lama, tubuh ini menyapa aku kembali dengan kehangatan yang akrab.

Ada hari-hari yang datang seperti malam tanpa jendela. Cahaya enggan singgah, dan waktu menetes lambat, seperti embun yang ragu jatuh dari daun. Di sana aku terbaring—bukan sekadar tubuh yang letih, melainkan jiwa yang tercerabut dari pusat dirinya, melayang di ruang hampa antara harap dan pasrah.
Sakit bukan hanya luka di raga; ia adalah kehilangan kompas dalam samudra sunyi, seperti perahu yang goyah dihantam ombak tanpa tahu di mana daratan berada.
Namun pagi ini, aku bangkit dalam tubuhku yang terasa utuh kembali—meski masih lemah, namun tak lagi tersesat. Nafas yang semula bagai mendaki bukit dalam kabut, kini mengalir seperti anak sungai di lereng cahaya: jernih, sabar, dan menyembuhkan.
Betapa menakjubkan rasanya ketika udara kembali menjadi teman, bukan musuh. Ketika detak jantung berdegub tanpa nyeri, seperti baris-baris puisi yang menenangkan, membaca dirinya sendiri dalam diam.
Aku bersyukur—bukan semata karena derita telah menjauh, melainkan karena derita telah menyingkap tabir: tentang betapa berharganya berjalan tanpa gemetar, menelan tanpa rasa tajam, terlelap tanpa ketakutan takkan bangun.
Aku bersyukur—sebab tubuh ini,
daging dan darah yang kerap kuanggap biasa, ternyata adalah bait panjang kasih Tuhan, yang diam-diam terus bekerja menjagaku, meski berkali-kali aku lalai membalasnya.
Aku bersyukur—karena sakit telah menuntunku menyusuri lorong kesunyian, dan di sana aku belajar mendengar lebih dalam: lirih doa yang tak sempat terucap, gema harap dari dasar jiwa, dan panggilan Tuhan yang tak pernah benar-benar jauh, meski aku sering tak hadir untuk-Nya.
Hari ini, aku tidak hanya pulih.
Aku pulang—pulang ke diriku yang lebih sadar, ke rasa yang lebih utuh,
ke makna yang lebih bening: bahwa hidup ini rapuh, dan justru karena itu, ia begitu layak untuk dicintai sepenuh hati.
***
Judul: Pulih
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.
Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.