Menguak Sisi Kelabu Dunia Pendidikan

Artikel ini ditulis oleh: Dr. Ernawan S Koesoemaatmadja

Gambar siswa yang sedang menyampaikan pendapat - (Sumber: MajmusSundaNews)

MajmusSunda News, Jumat (10/01/2025) – Artikel berjudul “Menguak Sisi Kelabu Dunia Pendidikan” ini ditulis oleh: Dr. Ernawan S. Koesoemaatmadja, M.Psi., M.B.A., CIQA., CQM., CPHRM., Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Mengusap dada dengan nafas panjang, dalam pikiran berputar ketidakmengertian, waktu membaca kenakalan remaja yang kian mengkhawatirkan, perkelahian pelajar secara spartan, siswa SD membunuh temannya, siswa SMP memukuli temannya, siswa laki laki menggebuki siswa perempuan, murid menantang guru untuk berkelahi dan lain-lain.

Kesimpulan awal bahwa akting mereka itu bersumber pada posisi transisional, sampai sampai ada sekolah yang terpaksa harus libur mendadak. Ironis sekali Lingkungan Wawasan Wiyata Mandala yang cukup ideal itu konsepnya, sampai terpaksa harus dijaga oleh Aparat Negara.

Hal tersebut selayaknya patut kita renungkan sedalam dalamnya. Dimanakah sebetulnya letak kesalahan dan keganjilan perilaku siswa-siswa didik tersebut. Apakah lembaga pendidikan yang terlalu lemah karena butuh murid? Guru yang tidak berwibawa dan tidak kreatif, dan anak didik yang brutal, dan terlalu agresif karena tidak tahu norma-norma sosial, budi pekerti dan kurang pendidikan agama? atau orang tua serta masyarakat yang tidak mematuhi  etika maupun norma pendidikan atau sama sekali tidak ada yang patut dituding.

Yang paling menyedihkan dan memilukan adalah tega mencelakai ataupun melukai sesama insan pendidikan, perilaku perbuatan itu sudah bukan katagori Juvenille Delinguency lagi, tapi sudah merupakan tindak kejahatan berperilaku.

Guru dan orang tua

Banyak yang menuding, kenapa para siswa atau remaja (Juvenille Delinguency) itu secara umum karena kurang berwibawanya guru, yang bersumber pada kegiatan guru didalam atau diluar kelas, cara guru menilai ataupun menarik simpati muridnya, sikap guru terhadap perubahan dan gejala kepribadian murid. Sikap guru dalam kerjasama dan lemahnya fungsi atasan atau Kepala Sekolah sebagai administrator, sehingga tidak bisa membawa siswa pada kondisi bersikap dewasa, didalam pengembangan mutu pendidikan.

Hal itu dimungkinkan tidak serasinya kerjasama mendewasakan murid, antara guru dengan wali kelas, dan koordinator bimbingan dan penyuluhan (bukan guru BP) didalam suatu lembaga pendidikan.

Paling parah kalau ekses ini ditudingkan pada Bidang BP atau Bimbingan Karir, padahal didalam memberikan  pengajaran, pengarahan etika dan norma pada siswa, merupakan kewajiban seluruh pengajar yang ada di sekolah, karena bidang BP bukanlah pelengkap penderita, tetapi suatu unsur dalam organisasi sekolah, yang mengkoordinasikan berbagai aspek mendewasakan murid.

Saat ini BP hanya untuk kepentingan pendewasaan murid itu kesalahan besar, bidang ini juga harus berperan untuk mendewasakan guru dan tenaga kependidikan. Oleh karena itu, koordinator BP haruslah betul-betul menguasai Psikologi Klinis, Remaja, Abnormal, Sosial, Pendidikan serta filsafat manusia, ditunjang oleh wali kelas dan sebagainya. Berikanlah penerangan secara rutin kepada para siswanya, tentang perilaku, sikap atau attitude dan kepribadian normal.

Dikembangkan dari berbagai sudut pandang, misalnya secara statistik, cultural (Budaya Sunda kalau di Jawa Barat hingga Banten) dan lain-lain. Sehingga para siswa memahami tentang perasaan aman yang wajar, Insight (derajat penilaian diri sendiri yang wajar), tujuan hidup yang realistis, kontak yang efektif dengan kenyataan, integrasi dan konsistensi personality, kesanggupan untuk belajar dari experience (pengalaman), reaksi spontanitas yang wajar dan tidak berlebihan, serta kesanggupan memenuhi kebutuhan atau kehendak jasmaniah secara wajar. Juga yang sering terlupakan untuk diajak membenahi dukungan faktor-faktor diatas, untuk dinamika keselarasan anak didik atau siswa, adalah orang tua dan komite sekolah, mereka diraih dan diberi pemahaman untuk menjadi: kolaborator yang baik, komunikator yang baik serta penyedia jasa yang baik.

Dr. Ernawan S. Koesoemaatmadja, M.Psi., M.B.A., CIQA., CQM., CPHRM.
Dr. Ernawan S. Koesoemaatmadja, M.Psi., M.B.A., CIQA., CQM., CPHRM. – (Sumber: Koleksi pribadi)

Bersama merekalah sekolah menekankan pada Holistic Global Education Characteristics yang mencakup: Emotional Intelligence, Ethical Values, Social Concerns, Religious Values and Concerns.

Kondisi yang serupa ini, perlu dipahami orang tua termasuk komite sekolah, karena mereka pada posisi tertentu harus memotivasi anak anaknya (siswa atau murid ), untuk bersikap dan mengadakan persepsi serta bertingkah laku Conform (sesuai) dengan apa yang telah ada di masyarakat. Masa ini sering disebut Terrible Teens karena orang tua banyak sekali mengalami masalah dengan Teenagers.

Menurut Eduard Spranger, juga terdapat Geltungsdrang yakni kebutuhan mendapatkan perhatian dari lingkungannya, gejala ini dapat menimbulkan konflik pada kaum remaja, intensitas konflik tergantung pada lingkungan di anak, terutama status sosialnya.

Apalagi kalau mereka menemukan ketidaksesuaian, antara apa yang diajarkan dengan fakta-fakta yang didapatkannya di sekolah ataupun di luar, akan timbulah kesangsian.

Tantangan itulah pada masa sekarang ini tugas guru selaku pendidik dan orang tua betul-betul harus utuh dan terpadu, terlebih dalam memberikan contoh dalam perilaku sehari-hari, yang ditunjukkan pada mereka.

Mereka perlu panutan dan model yang berwibawa, tidak acuh tak acuh dan membingungkan. Kalau para guru dan orang tua menampilkan nilai-nilai yang membingungkan, akan menyukarkan para siswa atau remaja, untuk menentukan nilai mana yang akan dipakainya.

Akibatnya, mereka akan acuh tak acuh dan tidak peduli dalam mempelajari norma atau akhirnya bertingkah laku tidak stabil.

Bimbingan dan Penyuluhan (BP) menambah arahan budi pekerti dan moral, yang teratur dan selaras dengan pelajaran agama di kelas, dalam bentuk yang lebih Universal. Bisa dalam bentuk pengarahan etika dan norma, bimbingan agama dalam waktu khusus, sembahyang atau sholat Jumatan bersama antara para siswa dan para guru di sekolah atau kampus dan lain-lain.

Biasanya moral diwujudkan  dalam hukum dan sanksi tertentu, biasanya masyarakat hanya menilai seseorang sebagai berbudi pekerti atau tidak berbudi pekerti, berdasarkan derajat keselarasan tingkah laku individu.

Budi pekerti (yang di dunia pendidikan atau sekolah, sudah dianggap tidak perlu diajarkan), dapat diajarkan dalam berbagai cara dan pola:

  1. Melalui pujian dan pembenahan (reward and recognition), upayakan tidak ada celaan (punisment).
  2. Melalui reflective thinking yang menghasilkan prinsip prinsip moral, yang umum untuk digunakan dalam situasi-situasi yang akan datang, serta yang mirip dengan situasi tempat prinsip moral itu terbentuk.
  3. Mendongeng atau membahas tokoh-tokoh pahlawan Nasional atau Internasional serta idola individu atau para siswa.

***

Judul: Menguak Sisi Kelabu Dunia Pendidikan
Penulis: Dr. Ernawan S. Koesoemaatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas info Penulis

Dr. Ernawan S. Koesoemaatmadja, M.Psi., M.B.A., CIQA., CQM., CPHRM., adalah anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS). Penulis pernah bertugas sebagai General Manager HRD, General Manager Accounting – Finance, Direktur HRM & Adm, Serta Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan & Alumni, Wakil Rektor Bidang Keuangan, Asset & Legal.

***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *