MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (19/10/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Luas Area Panen Menyusut, Produksi Beras Menurun” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DDP HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Luas area panen padi pada 2024 diperkirakan sekitar 10,05 juta hektare, mengalami penurunan sebanyak 167,25 ribu hektare atau 1,64 persen dibandingkan luas area panen padi pada 2023 yaitu sebesar 10,21 juta hektare. Di sisi lain, produksi padi pada 2024 diperkirakan sebesar 52,66 juta ton GKG, mengalami penurunan sebanyak 1,32 juta ton GKG atau 2,45 persen dibandingkan produksi padi di 2023 yang sebesar 53,98 juta ton GKG.
Selanjutnya, jika dikonversikan kepada beras, produksi beras pada 2024 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 30,34 juta ton, mengalami penurunan sebanyak 757,13 ribu ton atau 2,43 persen dibandingkan produksi beras di 2023 yang sebesar 31,10 juta ton. Memilukan sekali! Ada apa sebenarnya dengan dunia perberasan nasional?
Salah satu TV Swasta menulis running text: “Luas Panen Menyusut, Produksi Beras Turun jadi 30 juta ton”. Info ini betul-betul mengejutkan. Betapa tidak! Sebab, seperti yang kita ketahui, Pemerintah sendiri, sejak beberapa waktu lalu, telah berkomitmen untuk meningkatkan produksi beras setinggi-tingginya dan produktivitas per hektarnya menuju swasembada.
Jika mengacu kepada running text di atas, ternyata yang terjadi bukannya peningkatan produksi, tetapi penurunan produksi. Masalahnya, mengapa hal itu sampai harus terjadi? Apakah 10 penyebab utama turunnya produksi beras seperti yang diakui pemerintah masih belum dapat dicarikan jalan keluarnya? Atau malah jadi bertambah penyebabnya?
Mencermati dunia perberasan saat ini, memang kita masih sulit untuk melepaskan diri dari suasana “darurat beras”, walaupun dalam lima tahun ke depan pemerintah begitu gencar menyuarakan pentingnya swasembada pangan. Namun, pada kenyataannya, kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan yang menghadang, khususnya soal iklim ekstrim.
Setelah ketidaksiapan menghadapi El Nino, kini kita harus siap siaga dengan sergapan La Nina. Siklusnya bisa saja seperti itu. Setelah kekeringan, boleh jadi akan terjadi banjir. Di sisi lain, apakah pemerintah telah menyiapkan strategi terbaiknya untuk menghadapi La Nina? Atau pemerintah masih sibuk dengan pompanisasi yang hingga kini terus ditempuh?
Catatan kritisnya adalah apakah sergapan La Nina bakalan lebih dahsyat dibandingkan dengan El Nino? Apakah jumlah kegagalan panen padi akan lebih besar ketimbang serangan El Nino? Hal yang tak kalah penting untuk dicarikan solusinya apakah segenap komponen bangsa telah menyiapkan diri dengan serius menghadapi dampak buruk dari adanya iklim ekstrim ini?
Menyusutnya luas panen, jelas bukan berkah yang perlu kita sambut dengan rasa penuh kegembiraan, tetapi hal ini jelas sebuah tragedi perberasan yang patut segera dicarikan jalan keluar nya. Jangan biarkan menyusutnya luas panen padi hanya dijadikan konsumsi untuk diskusi, tetapi yang lebih serius untuk dijawab, apakah ada langkah cerdas yang dapat kita garap bersama?
Pemerintahan Prabowo-Gibran telah berkomitmen untuk mencapai swasembada pangan, air, dan energi. Dalam kaitannya dengan swasembada pangan, titik tekannya ada pada upaya pencapaian swasembada beras. Tanpa swasembada beras maka swasembada pangan pun terasa hsmbar. Itu sebabnya, jika luas panen menyusut, ini jelas ancaman bagi swasembada beras.
Suasana perberasan nasional dalam beberapa tahun belakangan terekam dalam situasi yang sedang tidak baik-baik saja. Anjloknya produksi yang dihasilkan para petani di dalam negeri, benar-benar membuat kondisi perberasan cukup merisaukan. Lebih gawat lagi, seiring turunnya produksi, ternyata kebutuhan beras dalam negeri meningkat cukup signifikan.
Bukan hanya dari sisi produksi, kita menghadapi “darurat beras” di dalam negeri. Namun, dari sisi harga beras di pasar pun, kita menghadapi tantangan yang tidak gampang disolusikan. Meroketnya harga beras di pasar menimbulkan kesan, kenaikan harga ini pantas disebut “ugal-ugalan”. Tentu saja hal tersebut membuat banyak pihak merasa kecewa atas penanganan pemerintah.
Ada apa sebetulnya dengan Pemerintah yang seolah-olah tak berdaya menghadapi kenaikan harga beras di pasar. Benarkah seabreg kekuasaan dan kewenangan yang digenggamnya nyaris tak bertuah menghadapi pasar beras yang tengah tercipta di negeri ini? Lebih sedih lagi, pemerintah seperti yang tidak mampu menciptakan harga beras yang wajar.
Selain anjloknya produksi, meroketnya harga beras di pasar, darurat beras pun membuat angka impor beras membengkak secara fantastis. Menjawab “kelangkaan” beras, pemerintah merencanakan untuk tahun 2024 ini, akan mengimpor beras sekitar lima juta ton. Pemerintah betul-betul mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.
Impor beras sendiri, memang tidak diharamkan untuk digarap pemerintah. Bahkan dalam regulasi yang ada, impor beras merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan untuk memperkuat ketersediaan beras nasional, selain dari produksi dalam negeri dan cadangan beras pemerintah. Ketika produksi anjlok dan cadangan menipis, impor merupakan solusi terbaiknya.
Langkah pemerintah memperluas areal tanam, apakah melalui pemanfaatan lahan rawa, ladang atau huma dan pencetakan sawah baru, pada dasarnya merupakan solusi untuk tetap meningkatkan produksi beras sebagai jawaban atas terjadinya alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan dan alih kepemilikan lahan sawah milik petani.
Namun begitu, kita sangat tidak ingin jika langkah-langkah yang digarap pemerintah di atas, dijadikan jawaban atas pembenaran alih fungsi dan alih kepemilikan lahan yang semakin menjadi-jadi. Mestinya, seirama dengan langkah di atas, pemerintah dituntut untuk mengerem alih fungsi lahan sekaligus melestarikan sawah yang tersisa.
***
Judul: Luas Area Panen Menyusut, Produksi Beras Menurun
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi