Krisis Api dan Air Republik

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif

Ilustrasi Krisis Api dan Air Republik - (Sumber: Bing Image Creator AI)

MajmusSunda News, Minggu (2/2/2025) – Artikel berjudul “Krisis Api dan Air Republik” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS) serta Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Saudaraku, kesuraman dan kelembaman yang mewarnai kehidupan Republik boleh jadi karena kita mengabaikan api dan air kebajikan publik. Apinya adalah nalar sehat, airnya moral terpuji. Tanpa nalar dan moral suatu negara kehilangan obor penerang dan marka haluan perjalanan.

Kesenangan bisa diperoleh dari kemenangan pemilihan, kenaikan kedudukan dan pendapatan, peningkatan popularitas dan pengikut, pelipatgandaan profit dan aset. Namun, kesenangan tak pernah mengenal kata cukup. Kebahagiaan abadi hanya bisa diraih dengan mengembangkan jiwa dan pikiran dengan tujuan moral yang membuat manusia menjalani kehidupan yang baik.

Apa itu kehidupan yang baik? Aristoteles dalam uraiannya tentang kebahagiaan (eudaimonia), menjelaskan bahwa sesuatu dikatakan baik jika memenuhi tujuannya. Jam yang baik menunjukkan ketepatan waktu, anjing yang baik dapat menjaga tuannya.  Manusia baik yang mampu bertindak seusai dengan nalar yang benar dan menggunakan nalar itu untuk menginvestigasi alam dan tujuan keberadaannya di alam.

Dengan demikian, kita bisa menghidupi kehidupan yang baik tatkala mampu menemukan tujuan moral dalam mengembangkan nalar yang benar serta menggunakan nalar itu untuk bertindak secara bajik (virtues). Maka, bertindaklah secara baik dan benar sejalan dengan nilai sebagai makhluk rasional, maka kehidupan akan bahagia.

Prasyarat nalar dan moral itu pula yang melandasi rumusan sila keempat Pancasila.  Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik dengan memberi jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan oleh rakyat dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan.

Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan mengakui adanya kesederajatan atau persamaan dalam perbedaan.

Cita hikmat kebijaksanaan merefleksikan orientasi nalar etis, bahwa “kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Orientasi nalar etis ini dihidupkan melalui daya nalar deliberatif argumentatif, kearifan konsensual dan komitmen keadilan yang dapat menghadirkan sintesis konstruktif bagi kebajikan publik.

***

Judul: Krisis Api dan Air Republik
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang penulis

Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Prof. Yudi Latif
Prof. Yudi Latif – (Sumber: beritaenam.com)

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.

Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.

Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.

Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.

***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *