MajmusSunda News, Jumat (22/11/2024) – Artikel berjudul “Kita Sedang di Mana?” ini ditulis oleh Prof. Ganjar Kurnia, mantan Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Butir ketiga Sumpah Pemuda adalah “Menjungjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “menjunjung” berarti “membawa di atas kepala, memuliakan, menghargai dan menaati”. Dengan pengertian yang seperti itu, pertanyaannya adalah, apakah dewasa ini kita sudah menjungjung tinggi bahasa persatuan tersebut?
Beberapa waktu yang lalu, di Cibubur diresmikan “Elite Youth Sport”. Sebelumnya, ada kegiatan Hambalang dan Magelang “retreat”. Ini hanya contoh kecil saja dari nama kegiatan atau nama tempat berbahasa asing yang muncul dalam seminggu terahir ini.
Tentu banyak sekali contoh lainnya. Di Jakarta, alat transport masal, disebut Mass Rapid Transport atau Light Rapid Transport yang untuk kemudian dilafalkan dengan bahasa Inggris pula (misalnya Em Ar Ti atau El Ar Ti – pen). Untuk jalan bis, digunakan istilah “bus way”. Untuk gedung, nama yang sudah lama kondang, misalnya Jakarta Convention Center.
Untuk gedung-gedung tinggi, walaupun bahasa Indonesia memiliki kata menara, tapi banyak yang menggunakan kata “building” atau “tower”. Untuk komplek perumahan, istilah : Residence, Estate, Valley, Mansion, Regency, House, Mountain, Garden, dan sebagainya, sudah sangat umum digunakan. Celakanya kata-kata asing untuk komplek perumahan tersebut, bukan hanya di kota-kota besar, tetapi menyebar sampai sampai ke daerah-daerah kecil. Bahkan, sampai ke pedesaan.
Untuk nama pusat perbelanjaan kaprah digunakan kata “mall”, “shopping Center”, “Town Square”, “City Walk”, “Trade Center”, “Junction”, “Core” dan sebagainya. Penggunaan kata asing yang juga banyak adalah untuk tempat wisata.
Di sekitar Bandung, ada nama-nama : “Farm House”, “Floating Market”, “Upside Down Hills”, “Rainbow Garden”, “Barussen hills”, “The Lodge”, “Amazing Art Wood”, “Orchid Forest”, “Wonder Land”, “Dream Park”, “Hot Spring Water Ressort”, “Water Boom”, dan sebagainya. Bukan hanya pertokoan modern, di Bandung, pasar tradisional dituliskan dengan kata “market” (misalnya, “Cicadas Market”); dan untuk taman, ditulis besar-besar dengan kata “park”.
Di dunia Pendidikan, selain nama sekolah yang juga menggunakan Bahasa asing, seperti “………boarding school”, di Tingkat SD banyak sekolah yang menyebut gurunya dengan istilah “Teacher” atau “Miss” (Bisa jadi di sekolah seperti itu, anak-anak tidak pernah diajarkan Hymne Guru – pen).
Di dunia penyiaran, kata yang paling umum digunakan di antaranya: “Breaking News”, “Citizen Report”, dan sebagainya. Kelihatannya yang masih cukup taat dalam penggunaan bahasa Indonesia hanyalah koran dan majalah.
Pemerintah yang seharusnya menjadi penegak utama penggunaan bahasa Indonesia, selain meloloskan perijinan penggunaan bahasa asing untuk komplek perumahan, pertokoan, sekolah, dan sebagainya, juga ikut-ikutan menggunakan bahasa asing ini. Misalnya, Command Center, Police Line, Work From Home, Car Free Day, Light Night, dan sebagainya. Terowongan di Tol Cisumundawu ditulis besar ”Twin Tunnel”.
Apabila diinventarisir dan dijumlahkan, penggunaan bahasa asing (baca : Inggris) di ruang publik ini, termasuk iklan yang dipampang di pinggir jalan, nama produk, nama toko, nama Gedung, nama kegiatan dan sebagainya, bisa-bisa sudah mencapai ratusan ribu. Bahkan, mungkin jutaan.
Pertanyaannya, tujuannya untuk apa? Konon, salah satu alasannya (katanya-pen.) agar kita dianggap mengglobal atau mungkin untuk gaya-gayaan(?). Suatu logika yang perlu diuji kebenarannya.
Sebagai contoh, apabila penggunaan bahasa asing untuk nama komplek perumahan dianggap bisa menarik minat konsumen, pada kenyataannya, banyak juga komplek perumahan yang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah, tetap saja laku.
Perlu diingat pula, bahwa penggunaan bahasa asing untuk komplek perumahan, walaupun kesannya dianggap berprestise dan unik. Namun, hal tersebut dapat memperlebar distingsi dan segmentasi di antara masyarakat yang secara sosiologis dapat membahayakan.
Contoh lain yang menarik, nun pelosok nan jauh di sana, di mana sebagian besar orangnya, pasti tidak bisa berbahasa Inggris, di pinggir jalannya, ditulis kata ”slow down”. Sekarang ini, kata rumah sakit juga banyak yang diganti dengan kata “hospital”. Hal ini. Bisa jadi mengasumsikan bahwa semua orang mengerti bahasa Inggris.
Untuk tempat wisata, penggunaan nama asing ini, kelihatannya ditujukan untuk menarik wisatawan luar negeri, padahal bisa jadi tidak ada hubungan yang signifikan antara nama asing dengan kunjungan wisatawan mancanegara. Mereka datang, bukan karena bahasa asingnya, tapi justru karena kekhasan di daerah-daerah yang di tempat mereka tidak ada.
Dalam jangka panjang, penggunaan bahasa asing ini, selain akan menggerus bahasa Indonesia (padahal bahasa itu merupakan ciri utama suatu bangsa), juga dapat mempengaruhi kesadaran kolektif, tentang asal-usul nama suatu daerah yang di antaranya berbasis asal-usul ciri geografis atau ekologis (toponimi).
Dengan tidak diperhatikannya toponimi, banyak kejadian yang menyebabkan gangguan ekologis. Sebagai contoh, ketika wilayah-wilayah yang tadinya menggunakan nama “situ” (danau) dijadikan kompleks perumahan atau penggunaan lainnya, sangatlah logis saja apabila di daerah tersebut sering terjadi banjir.
Secara ekstrim, ada yang mengatakan bahwa direbakannya nama-nama asing untuk perumahan (misalnya) adalah sebagai upaya terstruktur untuk menghilangkan ciri-ciri kedaerahan. Bahkan, ciri keindonesiaan (baca: sehingga kita sudah tidak merasa berada di wilayah Indonesia lagi). Selain di Singapura, kelihatannya di negara-negara lain, jarang sekali istilah asing ini digunakan untuk nama komplek perumahan, perkantoran atau kebijakan pemerintah.
Menghadapi fakta kebahasaan seperti dicontohkan di atas, sebenarnya Indonesia sudah memiliki berbagai peraturan untuk ditegakkan. Di dalam Undang Undang No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara disebutkan: “Bahasa Indonesia diwajibkan sebagai bahasa resmi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pelayanan publik, pemerintahan, komunikasi resmi, dan lain-lain. Undang Undang tersebut mewajibkan pula, semua nama gedung, jalan, perkantoran, fasilitas publik, dan lain-lain untuk menggunakan bahasa Indonesia.
Hal tersebut berlaku untuk bangunan milik pemerintah maupun swasta, termasuk hotel, restoran, dan pusat perbelanjaan. Untuk iklan, papan nama, media penyiaran seperti televisi, radio, dan media “online”, nama geografi, tempat wisata dan yang lainnya, diatur di dalam Perpres No. 63 Tahun 2019.
Di dalam Perpres tersebut, banyak hal lain yang diatur, termasuk bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Artinya, Perpres tersebut menegaskan, bahwa, walaupun sudah sangat fasih berbahasa asing (apalagi kalau belepotan -pen.), tetapi untuk pidato resmi di luar dan dalam negeri, wajib menggunakan bahasa Indonesia.
Pemerintah telah pula menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 tahun 2024 tentang, Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Isi utama peraturan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia serta bahasa daerah.
Dengan dasar PP tersebut maka dapat dikatakan bahwa pemerintah adalah aktor utama kurang dijunjungnya bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional. Oleh karena itu, selain pemerintah sendiri seharusnya tidak memproduksi dan menggunakan bahasa asing seperti yang dilarang oleh aturan, juga tidak malakukan pembiaran dan mengeluarkan izin untuk nama dan kegiatan yang tidak menggunakan bahasa Indonesia.
Untuk yang sudah terlanjur, salah satu isi UU No. 24 tahun 2009 menyebutkan: ”Bahasa asing dapat digunakan sebagai pelengkap, namun harus ditulis setelah bahasa Indonesia dan tidak boleh lebih dominan”.
Pada 20 November 2023 bahasa Indonesia telah ditetapkan menjadi bahasa resmi ke-10 di Unesco. Untuk penetapan ini, kita oleh bangga. Namun, apabila di negara sendiri kondisinya seperti yang dikemukakan di atas (kurang dijunjung dan dimuliakan), jangan-jangan kita akan menjadi bahan olok-olok bangsa lain. Kita harus bisa membedakan antara memiliki kamampuan berbahasa asing dengan bahasa Indonesia sebagai penciri keindonesiaan.
***
Judul: Kita Sedang di Mana?
Penulis: Prof. Ganjar Kurnia
Editor: Jumari Haryadi