MajmusSunda News, Sabtu (08/02/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Kekuatan Moral Panen Raya Padi” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Kekuatan moral panen raya adalah konsep yang merujuk pada nilai-nilai moral dan etika yang terkait dengan kegiatan panen raya, yaitu kegiatan panen yang dilakukan secara besar-besaran dan terorganisir. Dalam konteks ini, kekuatan moral panen raya dapat diartikan pertama sebagai komitmen untuk keadilan. Artinya, panen raya harus dilakukan dengan cara yang adil dan transparan, sehingga semua pihak yang terlibat dapat merasa puas dan tidak dirugikan.
Kedua, kepedulian terhadap lingkungan. Artinya, panen raya harus dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan, sehingga tidak merusak ekosistem dan tidak membahayakan kehidupan manusia dan hewan. Ketiga, kepedulian terhadap petani. Artinya, panen raya harus dilakukan dengan cara yang memperhatikan kepentingan petani, sehingga mereka dapat memperoleh pendapatan yang layak dan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Keempat, komitmen untuk kualitas. Artinya, panen raya harus dilakukan dengan cara yang memperhatikan kualitas hasil panen, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak membahayakan kesehatan mereka. Kelima, kepedulian terhadap masyarakat. Artinya, panen raya harus dilakukan dengan cara yang memperhatikan kepentingan masyarakat, sehingga dapat memenuhi kebutuhan mereka dan tidak membahayakan kehidupan mereka.
Dengan demikian, kekuatan moral panen raya adalah konsep yang merujuk pada nilai-nilai moral dan etika yang terkait dengan kegiatan panen raya, dan yang bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan panen raya dilakukan dengan cara yang adil, ramah lingkungan, dan memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat.
Di sudut pandanf lain, panen raya padi, sering diibaratkan dengan “hajatan” nya para petani. Suasana ini telah berlangsung cukup lama, bahkan menjadi bentuk penghormatan kepada Dewi Sri/Dewi Padi. Di daerah-daerah tertentu, khususnya di Pantai Utara Pulau Jawa, panen raya selalu dimeriahkan dengan keriaan dan kegembiraan. Ada kalanya para petani kaya menggelar pertunjukan wayang golek semalam suntuk.
Seiring dengan perjalanan waktu, panen raya tidak lagi dimeriahkan oleh keramaian budaya lokal. Panen raya lebih mengemuka sebagai kegiatan rutin yang harus dijalani oleh petani. Hampir tidak adanya kegiatan khusus menyambut tibanya panen raya. Hal ini wajar terjadi, karena semakin minimnya luas lahan sawah yang dimilikinya, maka boro-boro nanggap wayang, uang hasil panennya pun tidak menutupi biaya produksi yang dikeluarkan petani.
Petani padi hari ini semakin menarik untuk dicermati. Pasalnya, tentu bukan karena semakin sempitnya luas lahan yang dimiliki, namun kondisi kehidupannya pun terekam semakin menprihatinkan. Petani pemilik lahan luas semakin banyak berkurang, sebaliknya petani berlahan sempit (memiliki lahan pertanian rata-rata 0,25 hektar) semakin bertambah jumlahnya, khususnya para petani gurem.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Sensus Pertanian 2023, yang salah satunya menggambarkan adanya pembengkakan jumlah petani gurem. Selama periodw 10 tahun terakhir (2013-2023) Badan Pusat Statistik (BPS) menyimpulkan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Gurem tercatat sebanyak 16,89 juta. Dengan kata lain, mengalami kenaikan sebesar 18,49% dari catatan jumlah RTUP Gurem pada 2013 yang jumlahnya hanya sebanyak 14,25 juta.
Membengkaknya jumlah petani gurem mengindikasikan jumlah warga bangsa yang rentan miskin semakin bertambah. Kalau sebagian besar petani padi terkategorikan ke dalam petani gurem dan buruh tani, maka lumrah jika saat panen raya tiba, kita akan kesulitan menemukan petani yang menyambut kehadiran panen raya dengan penuh kegembiraan. Tidak ada lagi keramaian menyampaikan terima kasih kepada Dewi padi.
Dengan beragam keterbatasan yang dimilikinya, sebagian besar petani padi, pada saat memetik hasil panenannya, umumnya menghasilkan gabah kering panen. Jarang sekali yang mampu mengolahnya dulu untuk dijual dalam bentuk gabah kering giling atau beras. Itu sebabnya, mereka sangat berharap agar Pemerintah benar-benar mampu mengendalikan harga pada tingkat yang menguntungkan petani.
Lantas, bagaimana kondisinya dengan panen raya yang dialami sekarang ? Apakah para petani dapat menerimanya sebagai berkah bagi kehidupan atau malah sebaliknya, panen raya kali ini benar-benar menjadi sebuah tragedi kehidupan ? Yang jelas, rekaman dari lapangan menjelang panen raya, kembali harga gabah di petani anjlok. Sebuah resiko adanya kehendak Pemerintah untuk menekan harga beras.
Panen raya padi saat ini, tampak banyak harapan yang dimintakannya. Salah satunya, titipan untuk dapat menjaga harga beras di pasar, untuk twtap stabil dan tidak melonjak. Harga beras di pasar harus mampu “taat asas” kepada Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras dan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras. Ketentuan itu jangan dilabrak sehinggq harga beras menjadi tidak terkendalikan lagi.
Dampak nyata dari upaya penekanan harga beras di pasar, jelas membuat harga gabah di petani menurun cukup signifikan. Terlebih masih ada persepsi harga beras 2 kali harga gabah. Bila Pemerintah ngotot menekan harga beras demi menghormati aspirasi emak-emak yang protes karena harga beras tinggi, mestinya Pemerintah berikhtiar pula supaya harga gabah tidak ikut-ikutan turun.
Artinya, Pemerintah tidak hanya menjawab aspirasi emak-emak, namun juga menghormati apa yang menjadi keinginan sebagian besar petani, agar harga gabah tidak anjlok dan merugikan petani. Memang ini sebuah dilema. Pemerintah sendiri pasti akan kesulitan untuk menjawab mana yang akan dipilih, menurunkan harga beras sehingga emak-emak puas, atau mempertahankan harga gabah supaya petani riang dan gembira ?
Anjloknya harga gabah di saat panen raya, jelas merupakan tragedi kehidupan bagi petani. Harapan untuk berubah nasib sirna dengan sendirinya.Ilu Perjuangan keras selama kurang lebih 100 hari, ternyata tidak terbalas dengan harga yang wajar dan membuat petani merasa senang dan gembira. Padahal, sebelum panen raya tiba, petani sempat menikmati harga gabah yang memberi keuntungan optimal. Itu sebabnya, petani minta agar saat panen raya, harga gabah tetap diatas angka Ro.7000,- per kilogramnya.
Harapan petani ini tidak disampaikan secara bisik-bisik. Aspirasi ini telah membahana ke seluruh penjuru tanah air. Ada juga pejabat Pemerintah yang merespon aspirasi ini dan beliau minta kepada para pemangku kepentingan pergabahan dan perberasan untuk sama-sama mengawal dan mengindahkan apa-apa yang disuarakan petani diatas. Sayang pengawalannya tidak optimal. Harga gabah tetap turun cukup signifikan.
Catatan kritisnya adalah mengapa setiap panen raya tiba, harga gabah selalu anjlok dan Pemerintah tampak seperti yang tak berdaya menghadapi nya ? Jika kejadian ini baru pertama kali terjadi, tentu kita bisa memahaminya. Tapi bila kejadiannya selalu berulang ketika panen raya tiba, maka perlu dipertanyakan ada apa sebetulnya dengan pengendalian harga gabah pada waktu panen raya ?
Bagi kaum tani, tentu saja hal ini merupakan masalah yang serius. Dengan kekuasaan dan kewenangan yang digenggamnya, masa sih Pemerintah seperti kehilangan daya untuk mengendalikan harga gabah agar seirama dengan yang disuarakan para petani padi diatas ? Kalau pun betul-betul tidak mampu mengendalikan pasar, tentu Pemerintah perlu introspeksi dan bertanya apakah kekuasaan masih berpihak ke petani ?
Akhirnya penting dijadikan catatan kita bersama. Tidak sepantasnya panen raya padi menjadi tragedi kehidupan bagi petani dan keluarganya. Panen raya justru harus mampu memberi berkah bagi kehidupan. Itu alasannya, jika hingga saat ini, panen raya lebih sering menjadi tragedi, maka segera kita rubah menjadi berkah. Bila niat kita kuat, boleh jadi panen raya menjadi langkah utama menuju kehidupan kaum tani yang ceria ! (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: Kekuatan Moral Panen Raya Padi
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi