MajmusSunda News, Kolom Opini, Rabu (12/02/2025) – Artikel berjudul “Institusi Eksploitatif Kolonial Melemahkan Daya Berkoperasi” ditulis oleh Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Rektor IKOPIN University dan Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Sejarah selain sebagai jejak perjalanan juga menentukan tujuan yang akan dicapai apabila rancang bangun dan bangun jalannya tersebut tidak disesuaikan dengan tujuan baru dari perjalanan suatu bangsa. Periode kolonial Belanda di Indonesia berlangsung selama beberapa abad dan selama itu telah dibuat jalan untuk mencapai tujuan-tujuan penjajahan, yang secara mendalam telah membentuk lanskap ekonomi kepulauan Nusantara ini. Di antara berbagai kebijakan perjalanan yang diterapkan oleh Belanda, jalan berupa sistem ekonomi dualistik sebagai salah satu yang memiliki dampak signifikan dan bertahan lama pada lembaga ekonomi Indonesia hingga sekarang. Artikel ini menggali kisah penerapan jalan ekonomi dualistik ini dan konsekuensi yang luas bagi rakyat Indonesia, khususnya pada daya berkoperasi atau daya koperasi masyarakat.

Memahami Sistem Ekonomi Dualistik
Sistem ekonomi dualistik mengacu pada keberadaan dua sektor ekonomi yang terpisah dalam satu negara: sektor tradisional, yang sering didasarkan pada pertanian subsisten dan praktik-praktik adat, dan sektor modern, yang biasanya didorong oleh kegiatan industri dan komersial di bawah pengaruh kolonial atau asing. Dalam konteks pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, sistem ini ditandai oleh kedudukan ekonomi lokal tradisional yang berdampingan dengan ekonomi modern yang berorientasi ekspor yang didirikan oleh Belanda.
Penerapan Ekonomi Dualistik
Selama pemerintahan kolonial, Belanda memperkenalkan kebijakan-kebijakan yang memperkuat sifat dualistik dari ekonomi Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini termasuk pendirian perkebunan, operasi penambangan, dan monopoli perdagangan yang terutama melayani pasar global dan menguntungkan penguasa kolonial dan investor asing. Di sisi lain, sektor pertanian tradisional, yang sebagian besar dijalankan oleh penduduk asli Indonesia, sebagian besar terpinggirkan dan dibiarkan berfungsi dalam lingkupnya yang terbatas.
Dampak pada Lembaga Ekonomi
Kebijakan ekonomi dualistik memiliki beberapa dampak mendalam pada lembaga ekonomi Indonesia:
1. Fragmentasi Ekonomi: Pemisahan yang jelas antara sektor modern dan tradisional menyebabkan fragmentasi ekonomi. Sektor tradisional tetap kurang berkembang, dengan akses terbatas ke modal, teknologi, dan pasar. Fragmentasi ini menciptakan kesenjangan antara ekonomi kolonial yang kaya dan ekonomi masyarakat asli yang miskin.
2. Ketergantungan pada Tanaman Ekspor: Belanda sangat fokus pada penanaman tanaman ekspor seperti gula, kopi, dan karet. Ketergantungan pada beberapa tanaman utama ini membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga pasar global. Petani pribumi sering dipaksa untuk menanam tanaman komoditas ini, mengganggu produksi pangan lokal dan menyebabkan ketahanan pangan yang lemah.
3. Ketimpangan Infrastruktur: Pembangunan infrastruktur di bawah pemerintahan Belanda terkonsentrasi di daerah yang melayani sektor ekonomi modern. Pelabuhan, rel kereta api, dan jalan dibangun untuk memfasilitasi ekspor barang, sementara sektor tradisional hanya menerima investasi infrastruktur yang minimal. Kurangnya infrastruktur ini semakin mengisolasi komunitas pedesaan dan menghambat kemajuan ekonomi mereka.
4. Eksploitasi Tenaga Kerja: Sistem dualistik mengandalkan eksploitasi tenaga kerja murah. Penduduk asli Indonesia sering kali dipaksa bekerja dalam kondisi yang keras di perkebunan dan tambang. Eksploitasi tenaga kerja ini tidak hanya memperkuat ketidakadilan ekonomi tetapi juga meninggalkan warisan ketidakadilan sosial dan kebencian.
5. Kesenjangan Pendidikan dan Keterampilan: Kesempatan pendidikan yang diberikan di bawah pemerintahan Belanda terutama diarahkan untuk menghasilkan tenaga kerja yang sesuai untuk sektor modern. Hal ini menciptakan kesenjangan keterampilan, dengan sektor tradisional memiliki akses yang terbatas ke pendidikan dan pelatihan teknis. Akibatnya, penduduk asli Indonesia seringkali kurang siap untuk berpartisipasi secara berarti dalam ekonomi modern.
6. Pelemahan Praktik Kooperatif Tradisional: Bentuk-bentuk kerjasama tradisional, seperti sistem gotong royong, dilemahkan oleh pengenalan ekonomi perkebunan. Komunitas pribumi sering kali dipaksa meninggalkan praktik kooperatif mereka demi kerja individual di perkebunan kolonial. Pergeseran ini melemahkan ikatan sosial dan semangat kolektif yang telah menjadi penting untuk kesejahteraan komunitas.
7. Ketidaksetaraan Ekonomi dan Stratifikasi Sosial: Sistem ekonomi dualistik memperburuk ketidaksetaraan ekonomi, menciptakan kesenjangan yang jelas antara mereka yang diuntungkan dari sektor modern dan mereka yang terbatas pada sektor tradisional. Ketidaksetaraan ini menghalangi kemampuan komunitas yang terpinggirkan untuk mengorganisir dan bekerja sama demi kesejahteraan kolektif mereka, karena sumber daya dan peluang secara tidak proporsional terkonsentrasi di tangan sedikit orang.
8. Gangguan terhadap Ekonomi Lokal: Fokus pada tanaman komoditas ekspor mengganggu ekonomi subsisten lokal, membuat komunitas bergantung pada pasar global yang berfluktuasi. Ketergantungan ini menyulitkan komunitas untuk bekerja sama dan berinvestasi dalam kegiatan ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, mereka sering kali berada di bawah belas kasihan harga pasar yang berfluktuasi dan kekuatan ekonomi eksternal.
9. Pembangunan Infrastruktur yang Terfragmentasi: Kurangnya infrastruktur di sektor pedesaan dan tradisional semakin mengisolasi komunitas dan menghambat kemampuan mereka untuk bekerja sama. Tanpa transportasi, komunikasi, dan layanan keuangan yang memadai, sulit bagi komunitas untuk mengkoordinasikan upaya, berbagi sumber daya, dan mengejar inisiatif ekonomi bersama yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
10. Eksploitasi Tenaga Kerja dan Ketidakadilan Sosial: Eksploitasi tenaga kerja pribumi di perkebunan dan tambang menumbuhkan iklim ketidakadilan sosial dan kebencian. Eksploitasi ini melemahkan tekad kolektif komunitas untuk bekerja sama demi manfaat bersama mereka, karena individu sering kali sibuk dengan kelangsungan hidup dasar daripada pembangunan komunitas.
11. Kehilangan Otonomi dan Penentuan Nasib Sendiri: Penerapan kebijakan ekonomi kolonial menghilangkan otonomi dan penentuan nasib sendiri komunitas pribumi. Kehilangan kendali atas urusan ekonomi mereka sendiri membuat sulit bagi komunitas untuk mengejar strategi kooperatif yang selaras dengan nilai-nilai budaya mereka dan tujuan kesejahteraan jangka panjang.
Konsekuensi Jangka Panjang
Sistem ekonomi dualistik yang didirikan selama pemerintahan kolonial Belanda meninggalkan warisan yang bertahan lama pada lembaga ekonomi Indonesia. Kesenjangan yang diciptakan oleh sistem ini bertahan lama setelah kemerdekaan, membentuk jalur pembangunan ekonomi yang tetap masih berkarakter eksploitatif. Upaya untuk menjembatani kesenjangan antara sektor tradisional dan modern terus berlangsung, tetapi perpecahan sejarah terus menimbulkan tantangan bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pengembangan koperasi sebagai pemerdekaan ekonomi rakyat merupakan solusi jangka panjang.
Kesimpulan
Penerapan jalan ekonomi dualistik pada periode kolonial Belanda memiliki dampak yang mendalam dan multifaset pada lembaga ekonomi Indonesia. Dengan menciptakan perpecahan yang tajam antara sektor modern dan tradisional, kebijakan-kebijakan ini memperkuat ketidaksetaraan ekonomi dan menciptakan tantangan yang bertahan lama. Memahami konteks sejarah ini sangat penting untuk mengatasi masalah ekonomi saat ini dan bekerja menuju masa depan yang lebih adil dan inklusif bagi seluruh rakyat Indonesia. Koperasi merupakan jalan solusi untuk memecahkan permasalahan warisan sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia. Perjalanan ini harus dimulai dengan membangun kesadaran baru bahwa ekonomi dualistik adalah jalan usang dan koperasi adalah selain jalan konstitusional juga sejalan dengan teori ekonomi dan bukti-bukti empiris di negara lain yang telah maju.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan lembaga dimana penulis bekerja.
***
Judul: Institusi Eksploitatif Kolonial Melemahkan Daya Berkoperasi
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi
