Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 5)

Artikel ini ditulis oleh: Gelar Taufiq Kusumawardhana

Nakah kuno
Ilustrasi: Seorang bijak sedang membaca naskah kuno dengan latar belakang situs purbakala - (Sumber: Bing Image Creator AI)

MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (26/10/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 5)” ini ditulis oleh: Gelar Taufiq Kusumawardhana.artik

Dengan demikian, Paul Heinrich Dietrich Baron von Holbach yang merupakan penulis dan filosof Perancis-Jerman yang menjadi salah-satu figur utama dalam pergerakan Abad Pencerahan di Perancis (French Enlightenment) menganggap bahwa Rama merupakan nama lain dari Brahma.

Apabila kita merujuk pada Rama dan Brahma sebagai dua sosok yang berbeda dalam khazanah tradisional Hindu lainnya yang dikenal umum, bisa jadi memang terkesan membingungkan. Namun demikian, hasil investigasi dari Paul Heinrich Dietrich Baron von Holbach itu sendiri perlu untuk dipertimbangkan.

Mengingat seluk beluk aliran dalam Hindu dan berbagai khazanah kepustakaan Hindu yang pada dasarnya bersifat majemuk dan kompleks, bisa jadi menyisakan sumber-sumber rujukan yang berbeda yang kemudian digunakan dalam membangun argumentasinya tersebut.

Gelar Taufiq Kusumawardhana
Gelar Taufiq Kusumawardhana, penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Untuk sementara dapat dikatakan bahwa hubungan antara konsep Brahma dan konsep Rama yang digunakan oleh masyarakat Sunda abad ke-16 M dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian dapat diduga juga memiliki runutan asosiasi yang dapat dilacak pertanggungjawabannya logikanya.

Sebagai contoh, pada bagian “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XVII”, halaman 84 terdapat susunan kalimat sebagaimana berikut:

Sa(r)wa lwir[a] ning teuteupaan ma telu ganggaman palain. Ganggaman di sang prebu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa pina[h]ka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman sang wong tani ma: kujang, baliung, patik, kored, sadap. Detya pina[h]ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun. Ganggaman sang pandita ma: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina[h]ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui di sang prebu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean(ana), eta ma panday tanya.”

Adapun terjemahannya dapat ditemukan dalam bagian “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. Terjemahan, XVII”, halaman 107-108, sebagaimana berikut:

“Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu. Itulah jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi”.

Dalam kalimat di atas (“Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XVII”, halaman 84), jelas bahwa konsepsi Wisnu sebagai Prabu, Brahma sebagai Rama, dan Isora sebagai Resi yang ditemukan pada bagian sebelumnya (“Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI”, halaman 90), selanjutnya mengejawantah dalam formula Sang Prabu, Sang Wong Tani, dan Sang Pandita. Namun demikian, tidak sulit kiranya untuk menangkap adanya koherensi konseptual bahwa formulasi Sang Prabu, Sang Wong Tani, dan Sang Pandita pada dasarnya hanya merupakan penekanan yang berbeda dari prinsip dasar yang sama dalam formulasi Prabu, Rama, dan Resi.

Sebagai penguat bahwa kedua formulasi tersebut bersifat koheren dan sejajar, dapat disajikan juga formulasi-formulasi lainnya yang masih dapat ditemukan dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M sebagaimaa berikut: (1) formulasi “Guru, Wong Tani, dan Ratu (“Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, II”, halaman 74); (2) formulasi Rama, Resi, dan Prabu(“Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, II”, halaman 75);(3) formulasi Sang Prabu, Sang Rama, Sang Resi(“Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXIII-XXIV”, halaman 88); (4) formulasi Prabu, Rama, Resi (“Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI”, halaman 90); (5) formulasi Prabu, Rama, Resi (“Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI”, halaman 90), dan (6) formulasi Sang Pandita, Sang Wong Tani, Sang Prabu (“Bab III  Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI dan XXVII”, halaman 90).

Kata Rama yang diasosiasikan dengan Wong Tani dan Sang Wong Tanidengan demikian dapat memperkuat basis pemahaman terhadap peranan Brahma yang pada hakikatnya melahirkan, menciptakan, mewujudkan, membuat, mengadakan, atau mengadirkan alam semesta. Adapun Rama, Sang Rama, Sang Wong Tani, dan Wong Tani pada hakikatnya juga meneladani peranan Brahma dalam hal melahirkan, menciptakan, mewujudkan, membuat, mengadakan, atau mengadirkanberbagai kebutuhan konsumsi masyarakat melalui kegiatan pertanian, atau kegiatan produksi melalui sektor-sektor lainnya (komoditas).

Sebenarnya hubungan asosiasi antara konsep Brahma dan Rama dapat dilacak juga melalui tahap perkembangan kebahasaan lainnya. Misalnya saja, melalui prasasti-prasasti yang berkembang di Jawa dan di Bali.

Kata Rama dalam prasasti-prasasti tersebut dapat diartikan sebagai kepala pemukiman dalam unit administrasi paling kecil atau kecil (dalam batasan longgar yang perlu dipastikan). Adapun pemukiman yang dipimpin oleh Rama itu sendiri dapat disebut dengan Karaman (‘Karamaan’). Hanya saja, kata Karaman selain dapat diartikan dengan pemukiman, dapat diartikan juga dengan penduduk yang menghuni pemukiman.

Dalam istilah lainnya, Rama dapat disebut dengan Tuha Wanua. Sementara istilah lain untuk Karaman, antara lain Wanua, Anaking Wanua (Prasasti Poh 829 Saka/907 Masehi), Duwan (Prasasti Baru 952 Saka/1030 M), Thani (Prasasti Kawambang Wulan 913 Saka/991 M), dan Anaking Thani.

Pergeseran istilah-istilah yang ada tersebut, terjadi dalam abad-abad yang berbeda. Rama sebagai pemimpin, atau Rama sebagai ayah, atau Rama sebagai orang yang dituakan (‘Tuha Wanua’), dan Rama yang kemudian berasosasi dengan ‘Thani”, atau aktifitas pertanian pada dasarnya merupakan pergeseran makna yang masih dibangun dalam kerangka pijakan yang sama. Yakni kedudukan Rama sebagai orang yang melahirkan, menciptakan, mewujudkan, membuat, mengadakan, atau mengadirkan; yang pada gilirannya merupakan peranan yang dilakukan oleh Brahma.

Dalam prasasti-prasasti di Bali, kata Rama dan Karaman dalam konteks di Jawa juga didapati. Karaman misalnya juga berarti pemukiman dan penduduk. Sementara Rama dapat disebut juga dengan Rama Kabayan. Bahkan, kata kata Rama sebagai penguasa perkampungan juga dapat berasosiasi dengan kedudukan sebagai Raja, misalnya “Paduka Sri Maharaja Karaman i Cintamani sapanjing Thani” (Prasasti Sukawana B, II.a, bait 6).

Bisa jadi Rama dalam konteks tersebut berarti pemimpin daerah dan tentu saja yang dituakan sebagai kolot (senat) dengan berbagai beban kerja yang telah disebutkan sepintas sebagai Rama. Dalam konteks-konteks demikian, bisa jadi formulasi dalam paribasa-paribasa sebagaimana berikut menjadi dapat dipahami dengan jelas “Guru, Ratu, Wong Atua; karo; wajib sinembah” (Guru, Ratu, dan Tetua wajib dihormati).

Adapun kata Sthiti, yang berarti kehidupan dan yang kemudian berasosiasi dengan sikap memelihara, menjaga, mengelola, melestarikan, dan lain sebagainya. Pada gilirannya juga akan berasosiasi pada puncak perananya sebagai pemimpin umum kemasyarakatan tertinggi yang biasa disebut dengan Prabu, Ratu, Raja, Dewa Raja, Maharaja, Mahaprabu, dan lain sebagainya. Peranan itulah yang secara asosiatif dinisbatkan kepada Wisnu, yang dalam konteks naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M disebut dengan Prabu.

Sementara kata Pralina yang berarti mati atau kematian pada gilirannya dapat membentuk kata penghancur, perusak, penghukum, dan lain sebagainya. Bahkan, termasuk berasosiasi dengan peranannya sebagai pengajar, atau guru. Itulah yang kemudian membentuk asosiasi Shiva dalam konteks Pralina menjadi patron terhadap figur kepengajaran ideal sebagai Guru, Resi, Yogi, dan lain sebagainya.

Asosiasi Siwa sebagai Resi atau Guru dalam filsafat Hindu, terkait dengan usaha untuk menghancurkan kebodohan dengan menjadikan Shiva sebagai guru teladan (“Daksina Murti”). Itulah kenapa sosok Isora yang merupakan nama lain Siwa dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M dihubungkan dengan peranannya sebagai Resi, Sang Resi, Sang Pandita, dan Guru. Bahkan, sosok Batara Guru dalam naskah-naskah Sunda dan Jawa Klasik dalam era selanjutnya, sebenarnya masih dapat dilacak bukti-bukti pendukungnya sebagai perwujudan dari Isora, atau Siwa itu sendiri. (Bersambung …)

***

Judul: Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 5)
Penulis: Gelar Taufiq Kusumawardhana
Editor: Jumari Haryadi

 

Sekilas info penulis

Gelar Taufiq Kusumawardhana adalah Anggota Dewan Pakar Sejarah dan Kebudayaan, Majelis Masyarakat Sunda (MMS), Ketua Yayasan Buana Varman Semesta, dan Kandidat Doktor pada Konsentrasi Agama dan Budaya, Program Studi Agama-Agama, Program Pascasarjana (S3), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung). Kini ia bermukim di Perumahan Pangauban Silih Asih, Blok R, No. 37, Desa Pangauban, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.

***

Baca juga: Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 1)

Baca juga: Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 2)

Baca juga: Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 3)

Baca juga: Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 4)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *