MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (03/10/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Ekonomi Politik Warga dan Tatar Sunda: Sunda, Sarakan Jeung Nagara (Bagian 1 dari 2 Tulisan)” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Ekonom Senior, Guru Besar Politik Ekonomi IPB, dan Anggota Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Gambaran Makro Ekonomi-Politik Jawa Barat
Jika kita membaca data makro BPS tentang Jawa Barat ─ tatar sebagian besar warga Sunda berada, meski sebagian warga lainnya berada di tatar Banten dan DKI ─ di antara 34 provinsi lainnya di tanah air maka akan terlihat posisi Jabar berada di antara “berprestasi tinggi”, “cukup berprestasi” dan “berprestasi buruk”.
Yang berprestasi, antara lain nomor tiga paling kaya (diukur oleh PDRB/Produk Domestik Regional Bruto) setelah DKI dan Jawa Timur, yakni 2.209,82 trilyun rupiah dengan pertumbuhan ekonomi yang relative tinggi, yakni 5,68% tahun 2022. Dengan begitu, dari sisi produksi dan pertumbuhan ekonomi, Jabar termasuk berprestasi sangat tinggi.
Namun, PDRB per kapitanya medioker, nomor 21, yakni 45,3 juta rupiah atau 3.020 USD. Jadi kalau DKI sebuah negara dengan PDRB/kapita 18.304 USD, menurut Bank Dunia dalam kategori “kelompok berpendapatan tinggi” (higher income group) karena berada di atas 12.376 USD. Sementara Jabar termasuk kelompok berpendapatan rendah (lower income group) karena berpendapatan berada di bawah 4.095 USD.
Salah satu faktor penyebabnya, disamping Jumlah penduduk Jabar terbesar di Indonesia (48.782,4 juta), juga laju pertumbuhan penduduknya cukup tinggi, yakni 1,41%, melebihi rata-rata nasional yang hanya 1,22%. Dengan demikian berarti program Keluarga Berencana relative gagal.
Lebih jauh dicatat bahwa kondisi perekonomian di Jabar bagian Utara jauh lebih maju dibandingkan Jabar bagian Selatan. Mahasiswa Pasca Sarjana bimbingan saya telah membuktikan fakta tersebut dalam tesis masternya
Sementara kalau dilihat dari distribusi pendapatan yang diukur oleh rasio Gini pengeluaran, Jabar termasuk dalam kategori buruk, yakni 0,417, nomor 32 dari 34 provinsi dan melebihi rata-rata nasional untuk tahun 2021 yakni 0,384. Artinya hasil dari program-program pembangunan ekonomi selama ini, lebih terakumulasi kepada 20% kelompok pendapatan atas. Oleh karena itu dapat disimpulkan dari sisi pendapatan per kapita maupun distribusi pendapatan, Jabar termasuk berprestasi sangat buruk.
Namun menarik dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM, Human development Index) yang mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup, yakni umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan layak. Jadi IPM ini terkait dimensi kualitas dari pembangunan.
Jadi kalau dilihat dari IPM, Jabar masuk dalam kategori 10 provinsi terbaik dengan indeks 72,45 dan masih di atas IPM nasional, yakni 71,94. Sementara DKI yang tertinggi dengan indeks 81,11. Dengan demikian, untuk capaian kategori IPM ini Jabar cukup berprestasi. Cuma karena indeks ini rata-rata untuk seluruh penduduk maka dapat disimpukan juga bahwa IPM untuk 40% kelompok penduduk terbawah indeksnya lebih rendah. Hal tersebut karena terkait dengan rasio Gini yang buruk dimana distribusi pendapatan 40% kelompok terbawah memperoleh jauh lebih sedikit dan terakumulasi kepada 20% kelompok berpendapatan atas.
Selanjutnya, melihat persentase penduduk miskin, peringkat Jabar adalah nomor 16 dari 34 provinsi, yakni 8,06% yang lebih rendah dari tingkat nasional, yakni 9,54%. Jadi dalam kaitan ini, Jabar cukup berprestasi. Namun, kalau dilihat jumlahnya masih cukup besar, yakni 3.651.180 orang dengan pengeluaran per bulannya 486.168 rupiah. Ini sebenarnya merupakan kemiskinan ekstrem karena kalau menurut garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia, harusnya pengeluaran per bulannya sekitar 982.560 rupiah. Diperkirakan persentasenya lebih dari 15%.
Terkait dengan Indeks Inovasi, Jabar juga termasuk 10 besar terbaik, yakni nomor 4 secara nasional dengan angka 62,82. Ini termasuk daerah dengan kategori sangat inovatif setelah Sumsel, NTB, dan Jatim. Dari sisi ini Jabar dapat dikategorikan berprestasi tinggi. Ini terkait dengan adanya Perguruan Tinggi tingkat nasional dengan peringkat 10 terbaik seperti ITB, IPB, dan Unpad, Juga cukup banyaknya lembaga-lembaga riset nasional dan internasional di Serpong dan Bandung, serta tentu telah berkontribusi kepada tingkat PDRB ketiga tertinggi secara nasional setelah DKI dan Jatim.
Dari sisi realisasi investasi 2021, Jabar juga Juara kedua setelah DKI dengan nilai Investasi 21.226,2 milyar rupiah dengan jumlah 6.980 proyek (DKI nilai investasinya 22.942, 8 milyar rupiah dengan jumlah 8.963 proyek). Tentu ini terkait juga dengan kontribusinya terhadap tingginya PDRB Jabar,
Kemudian, karena ini analisisnya bersifat Makro Ekonomi Politik, kita harus melihat juga bagaimana kinerja dari proses Demokrasi di Jabar ini. Salah satu yang sudah lazim dalam mengukurnya adalah dengan Index Demokrasi, yakni mengukur: 1) Kebebasan sipil (kebebasan berpendapat, berserikat, berkeyakinan, dan bebas dari diskriminasi); 2 Hak-hak politik (memilih dan dipilih, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan pengawasan pemerintahan); 3) Lembaga demokrasi (Pemilu yang jurdil, peran DPRD, Parpol, Pemerintahan dan peradilan yang independent).
Dari sudut, Indeks Demokrasi, Jabar termasuk 10 besar terburuk, nomor 7 dari 10 daerah terburuk, yakni indeksnya 71,32, tapi itu lebih baik dari indeks secara nasional, yaitu 67,1 yang menurut The Economist Intellegence Unit, termasuk Flawed Democracy (Demokrasi yang cacat). Sementara DKI indeks demokrasinya 89, 21 yang kalao DKI sebuah negara termasuk 10 terbaik (nomor 7 dunia) dan lebih baik dari Swiss dan Australia yang indeksnya 89.
Dengan gambaran makro ekonomi-politik seperti dijelaskan di atas, dapat kita simpulkan bahwa Jabar telah berprestasi sangat tinggi dalam pertumbuhan ekonomi makro regional yang didukung oleh realisasi invetasi dan inovasi. Namun, belum menghasilkan kinerja pendapatan regional per kapita yang menengah tinggi (masih dalam taraf menengah bawah), belum menghasilkan distribusi pendapatan yang adil dan merata, serta dalam belum mencapai level peradaban politik yang demokratis (masih dalam katagori “demokrasi yang cacat”).
Dalam phrasa UUD NRI 1945, pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Jabar belum memakmurkan rakyat sebesar-besarnya (belum tercapai seperti perintah pasal 33 ayat 3 UUD’45) atau belum mencapai “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” seperti perintah sila ke 5 dari Panca Sila, dasar Negara RI.
Ketimpangan sebagai Problem Pembangunan di Indonesia
Problem Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia termasuk di Jawa Barat seperti telah diuraikan diatas, disamping sebagai dampak “salah strategi pembangunan”, juga karena ada faktor-faktor yang berasal dari dalam (endogen) yang menyebabkan lebih sulitnya bangsa Indonesia untuk mengawinkan antara Pertumbuhan dengan Pemerataan.
Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau. Konsekuensinya, pulau-pulau yang makin jauh dari Jawa, secara alamiah makin kurang terurus, terutama untuk hal-hal pokok yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, seperti jaminan kesejahteraan dan keamanan.
Dengan demikian, untuk negara-negara kepulauan dengan luas wilayah seperti Indonesia, harusnya memiliki strategi pembangunan yang relatif berbeda dengan negara-negara yg daratan (continental state). Namun, sejak VOC (yang bersekutu dengan Kerajaan Agraris Mataram) berhasil menghancurkan Kerajaan Pesisir (Sunan Giri dan lain-lain) pada abad 15-16, diperkuat masa penjajahan dan diteruskan oleh Pemerintahan Nasional paska kemerdekaan.
Itulah mengapa pembangunan ekonomi di Indonesia lebih berorientasi daratan sudah sekitar lima abad. Dengan Orientasi Daratan dimana Jawa yang wilayahnya hanya sekitar 7%, tetapi dihuni 0leh 62% penduduk, serta adanya sentralisme yang berpusat di Jakarta, memiliki dampak tersendiri, antara lain sirkulasi uang yang beredar di Indonesia lebih dari 70-80% ada di Jakarta sehingga hal ini memicu ketimpangan antar wilayah: Jakarta-luar Jakarta, Jawa-luar Jawa dan KBI (Kawasan Barat Indonesia) – KTI (Kawasan Timur Indonensia). Bahkan, antara Jawa bagian Utara dibandingkan Jawa bagian Selatan termasuk Jawa Barat bagian Utara dibandingkan Jawa Barat bagian Selatan seperti telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini,
Selanjutnya, Indonesia juga termasuk negara keempat terbesar jumlah penduduknya di dunia (big population), setelah China, India, dan Amerika Serikat dengan jumlah lebih dari 270 juta (Jawa Barat dengan jumlah pendudukan terbesar di Indonesia, yakni berjumlah 48.782,4 juta), Juga dengan tingkat keanekaragaman (heterogenity) yang tiada taranya di dunia, baik secara horizontal (Suku, Etnis, Bahasa Daerah, Agama) maupun vertikal (Pendapatan, Pendidikan, Kekayaan Finansial, kesadaran politik, status sosial, akses terhadap Sumber Daya, akses terhadap modal financial dan seterusnya).
Hal tersebut tentu saja menimbulkan dampak terhadap kemampuan masing-masing orang dan kelompok masyarakat untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang tidak sama sehingga pada gilirannya menimbulkan ketimpangan antar golongan pendapatan. Dalam bahasa teknis ekonomi, lazim digolongkan ke dalam kelompok 40% golongan pendapatan rendah/miskin, 40% golongan pendapatan menengah dan 20% golongan pendapatan tinggi/kaya.
Rasio Gini adalah alat pengukuran yang menggambarakan ketimpangan antar golongan pendapatan tersebut yang ukurannya antara 0 hingga 1. Semakin mendekati angka 0 berarti menggambarkan keadaan yang makin merata. Sementara mendekati angka angka 1 menggambarkan keadaan yang makin timpang.
Konsensus tentang rasio Gini tersebut, kalau angkanya di bawah 0,3 berarti relatif merata, antara 0,3 – 0,5 relatif timpang dan di atas 0,5 berarti dalam ketimpangan buruk. Sebagai catatan, waktu akhir tahun 1960-an Pakistan pecah menjadi dua negara, yakni Pakistan dan Bangladesh. Salah satu penjelasannya karena rasio Gini pendapatannya sudah di atas 0,5.
Indonesia pada tahun 2015 rasio Gininya adalah 0,413, tetapi dengan memakai data konsumsi (pengeluaran). Diperkirakan, kalau dihitung dengan data pendapatan, rasio Gininya sudah mendekati angka 0,5. Jawa Barat pun tercatat dengan rasio Gini pengeluaran 0,41 tahun 2022 atau kalao rasio Gini pendapatan sudah berada di angka 0,5. Artinya sudah “sinyal merah” yang dapat mengancam integritas nasional (Persatuan Indonesia, sila ke-3 dari Pancasila).
Kondisi sebagai negara kepulauan dan negara berpenduduk besar secara alamiah memicu terhadap tingkat ketimpangan seperti diuraikan di atas. Juga saat bersamaan pembangunan ekonomi sejak 1970 (pada saat mana Pemerintahan Orde Baru menjalankan pembangunan ekonomi yang sistematis) hingga sekarang adalah berorientasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi atau lebih teknis Pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) yang tinggi (GDP-oriented).
Strategi pembangunan yang GDP Oriented, dimana semua upaya pemerintah, swasta, BUMN, Koperasi dan masyarakat secara sadar atau tidak sadar mengukur kemajuannya berpusat kepada pencapaian GDP yang tinggi. Meskipun ada ukuran lain, misal pengurangan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan. Namun, semua ukuran-ukuran tersebut mengacu kepada pencapaian GDP yang tinggi tersebut.
Penting dicatat, bahwa di dunia ini ada tiga model dimana negara memperlakukan GDP. Pertama, yang saya sebut sebagai negara yang GDP-oriented, yakni, negara-negara yang secara over all mengukur kemajuan negaranya yang utama adalah melalui struktur GDP tersebut. Contohnya adalah negara super power seperti Amerika Serikat (AS).
Jadi, AS lewat ukuran GDP tersebut merupakan negara dengan tingkat kemakmuran yang tertinggi/terkaya di dunia. Meski kalau GDP itu dibagi dengan jumlah penduduk (GDP/capita) maka Luxemburg adalah negara yang GDP/Capitanya paling tinggi di dunia tahun 2021 yakni sekitar 118.000 USD (AS sekarang ini sekitar 63,416 USD) (katadata,co,id).
AS dengan GDP tertinggi di dunia, dengan jumlah penduduk yang sekitar 350 juta maka AS merupakan kekuatan ekonomi yang luar biasa dengan kekuatan iptek yang juga luar biasa. Dengan GDP oriented, AS telah menjadi negara adi-kuasa baik secara ekonomi, politik maupun militer. Namun, kemiskinan masyarakat AS juga termasuk tinggi untuk ukuran negara maju, yakni 18% menurut catatan statistik mereka dengan homeless sekitar 12%, serta gelandangan kira-kira 2 juta.
Kedua, adalah model Negara dimana GDP-nya itu hanya sebagai indikator dengan peranan negara, koperasi, serikat buruh, civil society yang sama besarnya. Juga ada sistim jaminan sosial, serta pajak progesif yang kesemua itu pada gilirannya menciptakan peran yang balance, di mana di tengah peran kekuatan modal yang besar, terdapat peranan negara yang efesien, tetapi juga menjamin tentang kesejahteraan masyarakat bawah.
Nah, ini yang disebut dengan perspektif model GDP hanya sebagai indikator, yakni tetap mereka memakai GDP. Akan tetapi, hanya untuk melihat sebagai salah satu indikator kemajuan yang diorientasikan untuk mencapai Keadilan Sosial masyarakat mereka. Sementara, GDP perkapitanya juga sangat tinggi, yakni Eropa itu berkisar antara 20.000 hingga lebih dari 100.000 USD, tetapi dengan tingkat kemerataan yang tinggi, yaitu 40% penduduk termiskinnya memperoleh lebih dari 22%.
Hal Itu khususnya dicapai oleh negara-negara Skandinavia dan secara umum dicapai oleh negara-negara Eropa Barat. Meskipun mereka sekarang sedang menghadapi krisis dan belum sepenuhnya pulih yang salah satu penyebabnya karena penggunaan dana fiskal untuk jaminan sosial yang terlalu tinggi. (bersambung)
***
Judul: Ekonomi Politik Warga dan Tatar Sunda: Sunda, Sarakan Jeung Nagara (Bagian 1 dari 2 Tulisan)
Penulis: Prof. Dr. Didin S. Damanhuri
Editor: Jumari Haryadi