MajmusSunda News, Rabu (20/11/2024) – Artikel berjudul “Dari Sportivitas Olahraga ke Sportivitas Kehidupan” ini ditulis oleh Prof. Ganjar Kurnia, Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Bagi beberapa kota yang mencalonkan diri sebagai tuan rumah olimpiade tahun 2012, yaitu London, Paris, Madrid, dan New York, tanggal 6 Juli 2005 merupakan saat yang menegangkan. Pada hari itulah tuan rumah olimpiade diputuskan. Selama hampir dua tahun mereka bersusah payah, mulai dari meyakinkan dan mencari dukungan berbagai lapisan masyarakat (umum, pengusaha, pemerintahan, politikus, dan sebagainya), membuat perencanaan, kampanye melalui berbagai media, sampai melakukan lobi dengan negara anggota IOC.
Di kota Paris sebagai contoh, sudah sejak tahun 2003, suasana olimpiade terasa dimana-mana. Di menara Eiffel, logo yang akan digunakan oleh Paris apabila terpilih sebagai tuan rumah dipasang. Demikian pula di tempat-tempat strategis lainnya, seperti logo yang akan digunakan oleh Paris apabila terpilih sebagai tuan rumah dipasang.
Demikian pula di tempat-tempat strategis lainnya, seperti Place de la Concorde, Champs Elyses, dan sebagainya. Hampir semua toko menempelkan stiker dukungan untuk olimpiade; beberapa perusahaan sudah beriklan bahwa produk mereka merupakan produk resmi untuk olimpiade. Kegiatan yang cukup menarik, adalah disulapnya avenue Champs-Elyses pada 5 Juni 2005 menjadi arena seluruh cabang olah raga yang akan dipertandingkan pada olimpiade.
Untuk keperluan tempat pertandingan, dilakukan perencanaan ulang tata ruang perkotaan secara keseluruhan yang meliputi, arena pertandingan, perkampungan atlit dan perencanaan transportasi mulai dari bandara sampai ke dan antar tempat pertandingan, dan sebagainya. Untuk semua kegiatan tersebut, pemerintahan kota telah pula melakukan perhitungan yang menyangkut investasi yang diperlukan, pendapatan/defisit, tenaga kerja yang dapat diserap selama proses pembangunan, pelaksanaan, pemanfaatan setelah olimpiade selesai, dan sebagainya. Untuk persiapan selama dua tahun saja, sudah ratusan juta euro dikeluarkan.
Dengan perencanaan yang begitu matang, wajar apabila pemerintah dan masyarakat Paris begitu yakin bahwa kotanyalah yang akan terpilih. Dari sisi dukungan pemerintah, sebagaimana halnya dengan Tony Blair dari Inggris, Jack Chirac pun terbang ke Singapura untuk melakukan lobi secara langsung kepada para delegasi anggota IOC (Inggris menghadirkan pula beberapa selebritis, seperti David Beckham).
Pada tanggal diumumkan, masyarakat sudah berkumpul di beberapa tempat strategis. Layar lebar dipasang, pesta kemenangan dirancang. Ketika hasilnya diumumkan dan ternyata Paris tidak terpilih, kekecewaan merebak dimana-mana. Namun, anehnya tidak terlalu lama. Koran dan televisi pun hanya sekitar dua hari saja memberitakan kekalahan tersebut.
Pernyataan presiden, wali kota, dan ketua perencana hampir senada yang intinya Prancis sudah melakukan berbagai upaya secara maksimal; kalaupun kemudian hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan maka semua orang haruslah berbesar hati.
Memang ada pula yang memberikan analisa, bahwa dari sisi persiapan, sarana dan prasarana Paris jauh lebih baik dari kota-kota lainnya, tetapi kurang melakukan lobi. Namun, tentang lobi ini ada pandangan yang menarik. Orang Prancis berprinsip bahwa persiapan, tahapan, dan proses yang baik dan benar, jauh lebih penting dibandingkan lobi. Lobi (yang tidak baik tentunya) dianggap hanya merupakan pendekatan sesaat yang bisa mengelabui atau memanipulasi kenyataan yang sebenarnya.
Setelah “kekalahan” tersebut, atribut-atribut yang terkait dengan dukungan penyelenggaraan olimpiade 2012 diturunkan. Sebagai gantinya di papan pengumuman yang tersedia di pinggir-pinggir jalan, terpampang tulisan yang tidak kalah menariknya: “Paris aimera toujours le sport. Merci á tous ceux qui ont soutenu notre candidature. Bravo au vainqueur qui organisera les Jeux Olympiques et Paralympiques de 2012” yang artinya: “Paris akan selalu mencintai olahraga. Terima kasih kepada semua fihak yang telah mendukung (kami) menjadi kandidat. Selamat kepada pemenang yang akan menjadi penyelenggara Olimpiade (musim panas) dan olimpiade penyandang cacat pada tahun 2012″.
Pelajaran apa yang terjadi dengan Paris menarik untuk diproyeksikan ke Indonesia. Ada beberapa pelajaran yang diperoleh. Pertama, untuk melaksanakan sesuatu kegiatan seharusnya direncanakan dengan baik. Tahun 2012 masih sembilan tahun, tetapi perencanaan matang sudah. Ada seloroh, jangan-jangan walikota, presiden dan bahkan ketua panitianya pun (yang notabene memang sudah pada sepuh) tidak akan dapat menyaksikan perhelatan akbar tersebut.
Bagi mereka, itu semua tidak menjadi soal. Urusan kepentingan negara tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan pribadi (baca: masih hidup atau tidak). Sementara itu kalau melihat di Indonesia, banyak hal yang dilaksanakan dengan metoda SKS (sistem kebut semalam). Oleh karena itu janganlah heran apabila hasilnya kurang maksimal.
Orang-orang tidak pernah mau belajar dari Sangkuriang yang walaupun sudah dibantu dengan para guriang, toh tidak berhasil pula. Di negara-negara maju, kegiatan kecil sekalipun, direncanakan paling tidak satu tahun sebelumnya. Dengan demikian, berbagai daya bisa diarahkan dan semua orang yang terkait atau berminat dengan hal tersebut bisa mengetahui dan merencanakan sejak awal.
Dari sisi olah raga sendiri, tidak ada juara sejati yang lahir secara tiba-tiba alias karbitan. Semuanya harus melalui tahapan yang benar, menggunakan metoda ilmiah, dilakukan melalui latihan, uji coba dan juga berbagai pertandingan.
Kedua, tentang lobi. Sejauh apa yang dilobikan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya maka lobi itu baik-baik saja. Manipulasi materi lobi, hanya akan efektif bagi seseorang atau kelompok orang yang mata dan hatinya terbelenggu oleh subyektifitas dan memiliki agenda-agenda lain di luar obyektifitas yang berlaku umum.
Sejalan dengan kemajuan pola pikir masyarakat, lobi yang bersifat sesaat dan manipulatif tidak akan efektif lagi. Dalam kaitannya dengan aktifitas politik, pada masyarakat yang semakin cerdas, kampanye yang dilaksanakan hanya beberapa hari menjelang pemilu, tidak akan memberikan dampak raihan yang signifikan. Masyarakat akan memilih partai berdasarkan kinerjanya dari pemilu ke pemilu.
Ketiga, kalah menang di dalam berkompetisi adalah biasa, tinggal saja bagaimana menyikapi setiap kekalahan atau kemenangan tersebut. Di Indonesia, masih banyak kejadian, apabila seseorang kalah di dalam suatu pertandingan atau pemilihan, kemudian timbul ketidakpuasan dari orang-orang dan pendukung yang kalah tersebut.
Dalam kasus sepak bola misalnya, apabila timnya kalah, pemain, suporter, bis lawan, wasit bisa menjadi sasaran. Anehnya lagi, stadion, taman, toko, kendaraan, stasion kereta api yang notabene miliknya sendiri (karena dibeli dengan uang rakyat) tak urung pula menjadi sasaran. Hal yang sama terjadi pula di dalam beberapa pemilihan kepala daerah. Ketika calonnya kalah, huru-hara, seperti pengrusakan gedung pemerintah/sarana umum meledak dimana-mana.
Di dalam dunia politik, persaingan di dalam memilih ketua, banyak yang diakhiri dengan konflik yang berkepanjangan di antara kubu yang menang dan yang kalah. Kalaulah tidak membuat partai tandingan, biasanya mutung atau melakukan oposisi secara negatif.
Menyimak hal tersebut di atas, di negara kita, jangan-jangan ada yang salah di dalam membentuk sportivitas. Ada kesan bahwa pemahaman berolahraga “hanyalah” untuk kesehatan dan prestasi.
Untuk kesehatan memang tidak perlu diperdebatkan lagi, sedangkan kecenderungan hanya kepada pencapaian prestasi, di antaranya bisa terlihat dari jumlah dana yang dikeluarkan, bonus yang diberikan kepada juara, serta ukuran keberhasilan pembangunan olahraga yang seringkali (baca: hanya) dilihat dari berapa cabang yang diikuti di berbagai event nasional, regional atau internasional, berapa medali yang diperoleh, dan sebagainya.
Celakanya, untuk tujuan prestasi ini pun kadangkala tidak diiringi dengan sportivitas. Kasus yang selalu mencuat menjelang dilaksanakan pekan olahraga (daerah atau nasional) adalah rebutan atlit.
Karena sibuk dengan pencapaian prestasi, tujuan olahraga yang justru paling penting, seperti melatih kebersamaan, disiplin diri (disiplin waktu, disiplin latihan), penegakan aturan (oleh pemain dan wasit), keadilan (oleh penyelenggara dan pemimpin pertandingan), kejujuran, menerima menang kalah (sportivitas), melatih mental, dan sebagainya menjadi terabaikan atau tidak pernah disampaikan secara verbal apalagi terencana. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan dan pelatihan olahraga perlu ditelaah kembali, sarana dan prasarana olahraga untuk umum pun perlu pula ditingkatkan, dan bukan malah dikonversi untuk kepentingan lain.
Motto “men sana in corporesano” yang artinya di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat, seharusnya dimaknai di dalam konteks ini. Tujuan besar dari olahraga selain untuk kesehatan jasmani, juga untuk membangun jiwa agar kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan dengan yang lebih baik. Sikap orang Prancis di dalam menerima kekalahan, tidak terlepas dari pendidikan olahraga yang diajarkan di sekolah.
***
Judul: Dari Sportivitas Olahraga ke Sportivitas Kehidupan
Penulis: Prof. Ganjar Kurnia
Editor: Jumari Haryadi