MajmusSunda News, Kolom OPINI, Selasa (24/06/2025) – Artikel berjudul “Dari Sintang untuk Nusantara: Credit Union Keling Kumang dan Model Pertumbuhan Ekonomi Endogen Berbasis Komunitas” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Saat banyak daerah di Indonesia masih menanti program pusat untuk menggerakkan roda pembangunan, Kabupaten Sintang di pedalaman Kalimantan Barat membuktikan bahwa transformasi dapat tumbuh dari bawah, dari komunitas itu sendiri. Di sinilah Credit Union Keling Kumang (CUKK) menjadi kisah keberhasilan—bukan hanya sebagai lembaga keuangan, tetapi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi endogen regional.

Model Pertumbuhan yang Berangkat dari Dalam
Dalam teori ekonomi regional, model endogenized growth menekankan bahwa pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif hanya bisa terjadi bila sumber-sumber pertumbuhan—seperti modal manusia, inovasi kelembagaan, dan kapasitas produksi lokal—berasal dari internal wilayah itu sendiri. CUKK adalah cerminan konkret dari teori ini.
Dengan jumlah anggota yang kini mencapai lebih dari 230.000 orang dan aset lebih dari Rp 2.2 triliun, yang dikelola secara digital, CUKK bukan hanya koperasi simpan pinjam, melainkan juga lembaga pendidikan (Institut Teknologi Keling Kumang), penggerak sektor ritel rakyat (toko komunitas KK Mart dengan 20.000 jenis item), serta motor agrowisata berbasis desa. Semua ini dimodali, dijalankan, dan dimiliki oleh warga lokal.
Dampak Multidimensi di Sintang dan Sekitarnya
Kehadiran CUKK menunjukkan efek multiplier effects yang nyata: Peningkatan akses keuangan dan menurunnya ketergantungan pada lembaga informal; Penguatan human capital melalui pelatihan, literasi, dan pendidikan tinggi berbasis lokal; Munculnya ekosistem usaha kecil dan menengah yang tidak bergantung pada kapital besar eksternal, dan; Perkuatan struktur sosial-komunitas melalui partisipasi aktif dan demokrasi ekonomi.
CUKK menumbuhkan apa yang dalam terminologi ekonomi disebut regional resilience—ketahanan lokal terhadap gejolak eksternal.
Bayangkan Jika Model Ini Dibawa ke Jawa Barat
Jawa Barat, dengan jumlah oenduduknya sekitar 50 juta orang, memiliki keragaman geografis dan sosial yang menantang: dari kota metropolitan hingga desa terpencil di kaki gunung. Replikasi model CUKK di konteks seperti ini akan mempercepat konvergensi (convergence) —di mana daerah tertinggal mengejar daerah maju dengan memaksimalkan potensi lokalnya, bukan sekadar mengandalkan redistribusi fiskal pusat.
Dengan kekuatan komunitas di Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, atau Sukabumi misalnya, koperasi berbasis model CUKK dapat menjadi tulang punggung regenerasi ekonomi desa. Institut lokal seperti yang dikembangkan CUKK bisa menciptakan brain circulation—talenta lokal membangun kampung halaman, bukan meninggalkannya.
Implikasi bagi Indonesia: Pembangunan Tanpa Menunggu Perintah
Jika diterapkan dalam skala nasional, model CUKK mendorong paradigma baru: pembangunan dari bawah yang berbasis pada trust, social capital, dan kelembagaan akar rumput yang kuat. Ini mengisi celah yang sering ditinggalkan oleh pendekatan top-down: kepercayaan, partisipasi, dan keberlanjutan.
Alih-alih membuat masyarakat menyesuaikan diri dengan kebijakan, model ini membuat kebijakan belajar dari masyarakat.
Penutup: Ekonomi yang Dimiliki, Dikelola, dan Diperjuangkan Sendiri
CUKK adalah bukti bahwa pertumbuhan ekonomi sejati tidak hanya soal PDB, tetapi tentang martabat, partisipasi, dan kontrol atas masa depan sendiri. Sintang telah memberi Indonesia sebuah cetak biru pembangunan yang berakar, berdaulat, dan bertahan berdasarkan kekuatan sendiri.
Tinggal pertanyaannya: berani atau tidak kita menirunya?
.***
Judul: Dari Sintang untuk Nusantara: Credit Union Keling Kumang dan Model Pertumbuhan Ekonomi Endogen Berbasis Komunitas
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi