Bunga Rampai Pasang Surut, Pergulatan, Perjuangan dan Pergerakan Tokoh Sunda dari Masa ke Masa

Banyak peristiwa terekam dalam catatan tulisan para sejarawan Sunda yang berupaya menulis sepak terjang bagaimana orang Sunda berjuang mempertahankan eksistensi dari desakan atau tekanan dari dalam atau pihak luar yang ingin orang Sunda itu tidak ajeg alias lemah

Tulisan kritik terhadap Pemerintahan Pusat di Jakarta Front Pemuda Sunda (FPS) di sebuah media 1956 (Soekapura.or.id)

MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/09/2024) – Artikel dalam Rubrik Sejarah/Mengenal Tokoh Sunda” berjudul  Bunga Rampai Pasang Surut, Pergulatan, Perjuangan dan Pergerakan Tokoh Sunda dari Masa ke Masa   ini ditulis oleh: Agung Ilham Setiadi

Sejarah kerap berulang, mungkin itu sering kita dengar. Tak terkecuali dalam perjalanan, pergulatan, perjuangan dan pergerakan urang Sunda dari sebelum kemerdekaan, meraih kemerdekaan, pasca kemerdekaan hingga sekarang ini.

Banyak peristiwa terekam dalam catatan tulisan para sejarawan Sunda yang berupaya menulis sepak terjang bagaimana orang Sunda berjuang mempertahankan eksistensi dari desakan atau tekanan dari dalam atau pihak luar yang ingin orang Sunda itu tidak ajeg alias lemah

Prof. Dr. Edi S Ekajati dalam buku “Nu Maranggung dina Sajarah Sunda, menulis awal tahun 1950-1956 banyak lahir pergerakan di beberapa daerah Indonesia, termasuk di Tatar Sunda, akibat polarisasi dan pergulatan politik masa orde lama banyak pergerakan Sunda merasa tidak nyaman karena kebijakan dan manuver politik dari pusat Jakarta.

Ia menulis bukunya menggunakan bahasa Sunda yang dikumpulkan dari Majalah Cupumanik dengan telaten dengan gaya tulisan yang bernas. Tokoh Sunda asal Kuningan dan Pakar Filologi senior dari Unpad ini menulis perjalanan urang dengan detail

Prof. Edi S Ekadjati (Tangkapan layar)

Simak berikut di bawah ini tokoh dan rentetan sejarah yang tertulis dalam perjalanan, pergulatan, perjuangan dan pergerakan orang Sunda dari masa ke masa.

Sutisna Senjaya (1890)

Bisajadi orang Sunda atau khususnya yang tinggal di Kota Tasikmalaya sudah tidak asing lagi dan akrab, dengan nama tokoh perjuangan yang satu ini, karena diabadikan dalam jalan utama Kota Tasikmalaya. Hanya saja mungkin banuak yang tidak tahu Sutisna Senjaya sendiri pituin lahir di Garut.

Orang Tasikmalaya menyebutnya jalan Sutisna Senjaya disingkat Sutsen. Ia dikenal pejuang yang malang melintang dalam dunia pergerakan, pendidikan, politik dan keagamaan urang Sunda pada masanya.

Dikutip dariht nu.or.id Sutisna Senjaya dikenal juga dikenal salah satu tokoh Nahdatul Ulama (NU) di Jawa Barat. Dia, lahir di Wanaraja, Garut, 27 Oktober 1890 M dan meninggal di Bandung 11 Desember 1961.

Sutsen menempuh pendidikan di Sakola Raja (KweekSchool) Bandung tahun 1911. Ia lalu mengajar di HIS Banten dan di HIS Bandung. Sutsen sepertinya haus akan ilmu, Ia kemudian melanjutkan belajar ke HKS, sempat mengajar di HIS Pasundan 1 Tasikmalaya. Sutsen, seperti Gan Ema dikenal dua tokoh pers pada zamannya.

Tahun 1920 terbit koran berbahasa Sunda, Sora Merdika yang dinakhodai H. Sanusi. Lalu terbit surat kabar Sipatahoenan (1923). Kedua surat kabar tersebut sangat keras mengkritisi Belanda.

Tahun 1921-1922, Sutsen menjadi redaktur surat kabar Siliwangi
Sutsen bersama Bakrie Suraatmaja, ia pernah mendirikan koran berbahasa Sunda “Sipatahoenan” di Tasikmalaya, selain di koran, aktif juga mendirikan majalah.

Ia menjadi Pemimpin Redaksi Majalah al-Mawa’idz. Di NU juga ia mendirikan “Pangrodjong Nahdlatul ‘Ulama” diterbitkan pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Tasikmalaya Agustus 1933.

Berkat pengabdiannya di NU, Iapun terpilih menjadi ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat tahun 1948 dan Sutsen aktif juga di Paguyuban Pasundan.

Menjelang kemerdekaan Sutisna Sendjaya, pada saat pendudukan Jepang, sempat aktif menjadi anggota Chuo Sangiin.

Perjuangannya membela kemerdekaan dilakukan dengan menjadi pemimpin pergerakan perjuangan rakyat pada zaman revolusi fisik dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Tasikmalaya.

Perjuangannya melawan penjajah Belanda dan Jepang, kerap ia tuangkan dalam beberapa media dalam bentuk tulisan.Pasca kemerdekaan, Sutisna Sendjaya memegang jabatan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama di Jakarta.

Setelah pensiun pada tahun 1954, ia bergabung dengan Daya Sunda. Bersama Ema Bratakusuma (Gan Ema) dan teman seperjuangannya, aktif kembali menerbitkan surat kabar mingguan berbahasa Sunda, Kalawarta Kudjang (1956).

Gan Ema (Ema Bratakusuma) Pejuang Sunda dari Ciamis (Foto: Tangkapan layar)

Ema Bratakusuma (1901)

Ema Bratakusuma lahir di Desa Baregbeg sebelah Utara Kota Ciamis, 12 April 1901, putra dari pasangan Rd. Muhamad Bratakusuma dan Rd. Kusumaningrum. Kakeknya dari ayah Rd Wiradijaya, Kuwu Bintang dari Baregbeg.

Dari keluarga besar Rd. Muhamad Bratakusuma, Gan Ema merupakan putra sulung dari 9 bersaudara. Ia punya adik Ir. Ukar Bratakusumah sempat menjadi Walikota Bandung ke 14 dan Gubernur Jabar ke 5. Ia juga sempat menjadi Menteri PU zaman Presiden Sukarno dan Rektor Institute Bandung (ITB) saat di ITB ia yang memprakarsai pendirian Mesjid Salman.

“Ukar Bratakusumah sudah terkenal dari mulai tahun 1930 salah satu tokoh pejuang Nasional,” tulis Edi dalam buku Nu Maranggung dina Sajarah Sunda.

Dalam wadah perjuangan menjelang dan pasca kemerdekaan Gan Ema memimpin Laskar Sunda Priangan, lebih akrab disapa teman-teman seperjuangannya dengan nama Gan Ema.

Jiwa patriotik Gan Ema selalu tertanam dalam semua langkah dan alam perjuangan membela urang Sunda. “Sagalana keur Sunda,” kata Gan Ema ditulis Edi S Ekajati dalam buku yang sama

Bersama tokoh yang lainnya Ema tanpa kenal lelah dan tanpa henti terus membela urang Sunda, seperti, Sutisna Senjaya (Sutsen), Otto Iskandar di Nata (Otista), Dr. R. Junjunan Setiakusumah, Ir. Ukar Bratakusuma, Ir. Juanda, Jerman Prawirawinata, dan banyak lagi tokoh Sunda lainnya

Gan Ema tergerak hatinya untuk membela “lemah caina Tatar Sunda,” akibat tindakan yang tidak adil dari Jakarta, untuk menyalurkan aspirasi atau uneg-uneg tahun 1952.

Ia bersama tokoh Sunda lainnya seperti, Ir. Otong Kosasih, Sudarna, Ipik Gandamanah, Ardiwinangun, Bakri Suraatmaja, Dr. Junjunan Setiakusumah, Apandi Widaprawira, Gumbira, Kusna Puradireja dan puluhan tokoh Sunda yang lainnya menginisiasi berdiri dua organisasi Sunda yaitu Pangauban Sunda yang nantinya bersamaan dengan Daya Sunda.

Gan Ema juga dikenal sempat menyatukan para pendekar dari seluruh Tatar Sunda dalam wadah perguruan Maenpo (pencak silat) Sunda, Sekar Pakuan berdiri 1933, selain itu Gan Ema dipercaya juga oleh Belanda untuk merevitalisasi dan membangun kembali Bandung pasca Bandung Lautan Api (24-25 Maret 1946).

Awal tahun 1948 Gan Ema ditawari Residen Belanda Van der Harst bergabung negara Pasundan namun ditolaknya.

“Gan Ema dari dulu dia itu pejuang yang selalu ingin merdeka dan menolak dijajah bangsa lain,” jelas Edi dalam buku yang sama

Namun karena alasan Lemah Cai Bandung yang hancur akibat perang pasca kemerdekaan Bandung Lautan Api, ia tak kuasa menolak dan membangun kembali Wethouder Bandung yang porak poranda.

Saat Jepang datang menaklukan Belanda dan ingin menjajah Indonesia Gan Ema bersama pejuang lainnya tidak hanya tokoh Sunda mendirikan Barisan Pelopor, seperti Dr. R. Junjunan Setiakusumah, Ir. Ukar Bratakusuma, Duyeh Suharsa dan Anwar Sutan Pamuncak.

Saat itu kerap menggelar pertemuan di rumah Ukar Bratakusuma di Jalan Wastukancana (14 Agustus 1945) pukul 09.00 WIB.

“Dalam pertemuan itu mereka bermusyawarah bagaimana caranya agar Kota Bandung aman dan tertib, jika saja Prokklamasi Kemerdekaan diumumkan, hasilnya diputuskan oleh panitia siapa yang bakal memegang kekuasaan di Bandung, menyesal saat itu Walikota Bandung R.A Atmadinata, tidak setuju agar dirinya menyerahkan kekuasaannya kepada panitia,” tulis Edi S Ekajati.

Pada akhirnya terjadilah peristiwa Bandung Lautan Api yang banyak melahirkan korban dikalangan rakyat sipil dan tentara..

Disaat Gan Ema menyatukan perguruan Maenpo di Tatar Sunda Sekar Pakuan, Gan Ema juga mendirikan Kebun Binatang di tanah kepunyaan dia sendiri.

Tak hanya bergerak di bidang budaya, seni dan politik Gan Ema sangat perhatian pada pendidikan. Ia menyediakan asrama di Bandung untuk orang desa yang sekolah atau kuliah di Bandung tepatnya di Gang Ijan (1920) dan Jalan Tawes (1960-1970).

Dalam dunia press iapun tak mau ketinggalan mendirikan Kalawarta Kujang dan disediakan ruangan Kujang Putra untuk menampung karangan dari karya para nonoman Sunda. Gan Ema juga sempat bergabung dengan Paguyuban Pasundan

Pangauban Sunda (1952)

Kegelisahan tokoh-tokoh Sunda tidak main-main, atas perlakuan tidak adil, para pemimpin di Jakarta pertemuan-pertemuan intensif terus mereka lakukan.

Pertemuan pertama diadakan pertengahan tahun 1952 di rumah Ir. Otong Kosasih Jalan
Pasteur 11 A Bandung, dalam pertemuan bersejarah itu hadir lima orang tokoh Sunda diantaranya Apandi Widaprawira, Ema Bratakusuma, Gumbira, Ir. Otong Kosasih dan Sudarna.

Pertemuan kedua mereka intensif melakukan diskusi, dalam rangka mencari solusi upaya pergerakan dan perjuangan urang Sunda ke depan. Pada pertemuan ketiga hadir 23 tokoh Sunda.

Selain yang hadir di pertemuan pertama, diantaranya hadir Ardiwinganun, Atje Bastaman, Bakrie Suriatmaja, Dr. R. Junjunan Setiakusumah, Hasan Nata Permana, Ipik Gandamanah, Mr. Kusna Puradireja, Ir. Ukar Bratakusuma, Ir. Otong Kosasih, Sukanda Bratamanggala, dr. G Suriasumantri, dan yang lainnya.

Pada tanggal 22 November 1952 di Bale Kota Bandung panitia kecil resmi menggelar pertemuan, keputusannya berdiri organisasi Pangauban Sunda, menyetujui mukadimah dan anggaran dasar yang disusun panitia, menetapkan anggota pengurus.

Di Bandung ada 14 diantaranya, Ema Bratakusuma, Jerman Prawirawinata, Puradireja, Ir. Otong Kosasih, R.A.A Wiranatakusumah, Bakrie Suraatmaja, Sukanda Bratamanggala, dr. G. Suriasumantri, Aming Abdul Hamid, Apandi Widaprawira, Ardiwinangun, Atje Bastaman, Sam dan Dahlan. Di Jakarta ada, Sutisna Senjaya, O. Partadimaja dan Akil Prawirareja

Pengurus Harian, Sesepuh Ir. Otong Kosasih, Wakil Sesepuh, Sukanda Bratamanggala, Panitra I Apandi Widaprawira, Panitra II Dahlan, Panata Harta Aming Abdul Hamid, anggota Ema Bratakusuma dan Hasan Nata Permana.

Pada saat peresmian Pangauban Sunda ada tujuh orang yang memberikan sambutan, yakni, Ir Otong Kosasih, Sutisna Senjaya, Puradireja, Sukanda Bratamanggala R.A.A Wiranatakusumah, S. Suradireja dan Jerman Prawirawinata.

Isi sambutannya, agar orang Sunda secepatnya memperbaiki dan mengurus keadaaan masyarakat Sunda dengan tujuannya bukan untuk memisahkan diri dari bangsa lain, namun untuk memperkuat keyakinannya. Hanya Orang Sunda sendiri yang mengetahui, merasakan dan menjaga tatanan hidupnya.

Daya Sunda (1953)

Pada saat yang sama, tidak lama setelah Pangauban Sunda berdiri di Bogor berdiri juga Sunda Budaya.Jika dilihat dari visi dan misinya, sama dengan Pangauban Sunda. Konsolidasi Pangauban Sunda dan Sunda Budaya intensif terus dilakukan, untuk mencapai kata sepakat dan mufakat.

Pada tanggal 18-19 Juli 1953, atas dasar ketulusan kedua organisasi itu. Pangauban Sunda dan Sunda Budaya melebur diri menjadi Daya Sunda.

Gerakan Pilihan Sunda (1955)

Sejak lahirnya Daya Sunda, para tokoh Sunda saat itu seperti mendapat semangt energi baru. Mereka tidak hanya bergerak dalam bidang pendidikan, ekonomi dan sosial dan keagamaan.

Tak mau ketinggalan dalam pergerakkan dengan suku bangsa yang lainnya di Indonesia.
Daya Sunda ikut terjun dalam dunia politik. Menjelang tahun 1955 Gerakan Pilihan Sunda (Gerpis) sayap politik dari Daya Sunda berdiri. Lahir Gerpis erat kaitannya dengan tokoh Sunda yang dua-duanya lahir dari rahim Daya Sunda.

Sutisna Senjaya dan Ema Bratakusuma menjadi bintangnya Gerpis, hanya dengan persiapan yang singkat sekitar tiga bulan menjelang pemilu pertama yang paling demokratis (1955). Sebagai partai lokal berhasil meloloskan satu-satunya wakil rakyat ke Jakarta, yakni Sutisna Senjaya.

Sedangkan Gan Ema tetap menyokong dari segi dana untuk menghidupi Gerpis.
Murid politik satu-satunya Gan Ema, yakni Tjetje Hidayat Padmadinata saksi hidup yang menyaksikan sepak terjangnya Sutsen dan Gan Ema menuturkan, hanya Gerpis kendati partai lokal satu-satunya yang berani memakai embel-embel Sunda di belakang.

Semua partai bernuansa Sunda, tidak ada yang berani memakai nama di belakangnya Sunda, hatta Paguyuban Pasundan yang besar (PP). Saat itu PP mendirikan Parki (Partai Kebangsaan Indonesia).

“Saat Gan Ema di Gerpis Saya murid politik satu-satunya beliau, usia saya saat itu sekitar 20 tahunan. Pada saat itu tidak ada yang berani tokoh Sunda menamai partainya memakai embel-embel Sunda. Hubungan tokoh Sunda sedang tidak harmonis dengan Jakarta. Semua takut dicap sebagai provinsialisme (fanatik kesundaan). Hanya Sutsen dan Gan Ema yang berani,” jelas Tjetje.

Tjetje mengaskan suasana politik sejak pemilu 1955 ternyata tidak berjalan mulus, hubungan tokoh Sunda dan Jakarta juga tidak semakin baik jika tidak dikatakan memuncak dengan lahirnya Kongres Pemuda Sunda 1956.

Kongres Pemuda Sunda dan Front Pemuda Sunda (1956)

Puncak dari kegelisahan dan kegundahan orang Sunda, akibat ketimpangan dan ketidakadilan menimbulkan keprihatinan terutama dikalangan Pemuda Sunda.

Aditya Rahman menuturkan seperti yang ditulis dalam narasi.id/Front Pemuda Sunda dan Dinamika Politik Jawa Barat tahun 1956.

Ia menyatakan ada dua hal yang kerap mendera orang Sunda pasca pemilu 1955.
Gangguan pemberontakan yang dilakukan DI/TI di Jawa Barat, akibat dari pemberontakan rakyat Tatar Sunda menjadi tidak tentram, hidup mereka selalu terancam, sedangkan tanda-tanda penumpasan dari pusat Jakarta terkesan tidak serius dan melahirkan ketakutan yang amat sangat dalam tatanan masyarakat Sunda saat itu.

Disisi lain dominasi Tionghoa disisi lain perguruan tinggi, inipun menjadi suatu penyebab pemuda Sunda bersatu, mereka merasa resah atas perlakuan diskriminasi dalam negerinya sendiri, pemuda Sunda menganggap bahwa orang Tionghoa lebih banyak di perguruan tinggi, begitupun dengan dosen-dosennya yang menyebabkan sedikit banyaknya terjadi sikap diskriminatif terhadap orang-orang pribumi.

Menurut Aditya Rachman Front Pemuda Sunda merupakan fusi dari berbagai organisasi Sunda. Gerakan Front Pemuda Sunda fokus dalam lapangan politik lokal dan memperjuangkan “Ke Sundaannya”.

Situasi yang tidak stabil di Jawa Barat dan merosotnya kehidupan ekonomi mendorong kaum muda Sunda untuk bergabung dalam pergerakan Front Pemuda Sunda

“Perasaan tidak puas semakin memuncak tatkala banyaknya ditemukan kekurangan-kekurangan dalam mengelola negara, kata Aditya seperti yang ditulis dalam narasi.id/Front Pemuda Sunda dan Dinamika Politik Jawa Barat tahun 1956.

Situasi keamanan negara saat itu cenderung tidak aman karena banyaknya pemberontakan. Dalam bidang ekonomi mengalami hal sama tidak stabil, banyak ketimpangan. Kedaulatan negara tidak terjaga, mengakibatkan gagalnya percobaan sistem demokrasi di Indonesia.

Munculnya rasa tidak puas dari kalangan Pemuda Sunda maka muncullah etnosentrisme Sunda. Selain itu munculnya pula rasa tidak puas terhadap pemerintah.

Pada tanggal 17 dan 18 Maret 1956, sekitar 50 orang dari berbagai utusan organisasi diantaranya Pemuda Sunda, Putra Sunda Bogor, dan Daja Nonoman Sunda Djakarta, serta perseorangan yang terkait mengadakan pertemuan di Bogor.

Dalam pertemuan itu dibicarakan beberapa pokok persoalan untuk mempersatukan usaha semua organisasi pemuda Sunda dan cara mengangkat derajat Suku Sunda.

“Pertemuan tersebut adalah cetusan jiwa pemuda-pemuda Sunda yang telah lama tertekan akibat kepincangan dan ketidakadilan,” tulis Aditya dikutif dari Sjafari Irvan.

Putera Sunda didirikan di Bogor oleh Saikin Suriawidjaja dan anggota-anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa pertanian Bogor pada 1956. Sementara Nonoman Sunda berdiri pada 13 Oktober 1952 di Bandung dan Mitra Sunda pada 5 Oktober 1952 di kota yang sama.

Pada hari pertama pertemuan tersebut diputuskan pembentukan Badan Musyawarah Pemuda Sunda dan Front Pemuda Sunda. Badan Musyawarah Pemuda Sunda pertama diketuai oleh Alisyahbana Kartapranata. Sementara Front Pemuda Sunda diketuai oleh R. Muh Apit S.K dari Bandung dan wakilnya adalah Adeng S. Kusumawidjaja. Sementara Sekretaris jendralnya Adjam S. Syamsupradja dan bendaharanya adalah Nan Katrina. Badan Musyawarah Pemuda Sunda bersifat kemasyarakatan dan kebudayaan, sementara Front Pemuda Sunda adalah bersifat perseorangan dan membicarakan keadaan Suku Sunda (Pikiran Rakjat, 20 Maret 1956; dalam artikel Sjafari Irvan, 2013)

Gerakan Front Pemuda Sunda fokus dalam lapangan politik lokal dan memperjuangkan “Ke Sundaannya”. Situasi yang tidak stabil tadi dan merosotnya kehidupan ekonomi mendorong kaum muda Sunda untuk bergabung dalam pergerakan politik.

Munculnya kesadaran putra daerah yang memperjuangkan kepentingan rakyat dengan bekal pendidikan dan identitas kedaerahan. Orang Sunda lebih senang berada di lingkaran Sunda, namun hal ini tidak membatasi pergerakan mereka.

Front Pemuda Sunda, sebagai organisasi dengan jaringan politik menjadi tempat hubungan sosial dan kerjasama, berkompetisi dan berkonflik dalam perebutan sumberdaya politik dan ekonomi serta arena ekspresi identitas budaya (Sujatmiko Iwan G, 2014, hlm. 5).

Kendati Front Pemuda Sunda merupakan fusi dari berbagai organisasi Sunda sebagaimana diulas, dalam pergerakan pemuda Sunda, Front Pemuda Sunda merupakan organisasi yang paling terkenal saat itu. Hal ini dikarenakan pergerakan dari Front Pemuda Sunda begitu radikal mengkritik pemerintahan saat itu.

Sejalan dengan hal tersebut dalam bukunya muncul anggapan terhadap Front Pemuda Sunda, (Rosidi Ajip, 2010, hlm. 389) “sampai-sampai Nasution menganggap bahwa Front Pemuda Sunda merupakan organisasi ilegal” namun pendapat tersebut dibantahkan.

Ajip Rosidi penggagas latar belakang berlangsungnya Kongres Pemuda Sunda (KPS) 1956. (Foto: Instagram Pustaka Jaya)

“Tidaklah benar kalau Nasution menyebut Front Pemuda Sunda itu organisasi ilegal, karena berita tentang pembentukannya dimuat dalam pers pada waktu itu, struktur dan susunan pengurusnya juga dimuat dalam berita, bahkan juga alamatnya”.

Adanya pendapat yang dikeluarkan FPS sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap kondisi yang dialami sesungguhnya adalah suatu hal yang wajar pada negara Indonesia yang berusaha untuk menjadi negara yang demokratis.

Kolonel Sukanda Bratamanggala selaku pemimpin militer setempat menulis dalam harian Pikiran Rakjat dan berpendapat bahwa hendaknya permasalahan FPS itu dilihat dengan istilah “ jangan mencari hantu di siang hari “, yang artinya mencari sesuatu yang tak nampak, dan tenang.

Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa tindakan FPS adalah ledakan dari perasaan jengkel dan kecewa terhadap keadaan masyarakat yang mereka anggap masih buruk.

Masih dalam tulisan Aditya Rachman, akibat kepincangan yang terjadi di Jawa Barat, muncullah suatu gagasan dari Ajip Rosidi untuk mengadakan Kongres Orang Sunda. Gagasan tersebut mendapat dukungan dari orang Sunda yang berada di Jakarta, kemudian juga dari para mahasiswa Fakultas Pertanian di Bogor, dan para pemuda dan mahasiswa di Bandung. Tapi yang menentukan terselenggaranya kongres yaitu Kolonel Akil Prawiraredja.

Dialah yang menyarankan Pemuda Sunda di Bandung agar bertemu dengan para mahasiswa Fakultas Pertanian di Bogor. Pertemuan tersebut menghasilkan terbentuknya panitia kongres. Namun yang terlaksana bukanlah “Kongres Orang Sunda” melainkan “Kongres Pemuda Sunda” (Rosidi, 2008, hlm. 174-175).

“Dari hal tersebut kita dapat melihat bahwa pengaruh kuat dari gerakan Front Pemuda Sunda yang radikal dapat menyatukan orang-orang Sunda dalam suatu wadah,” jelas Aditya Rachman

Gerakan Pilihan Sunda (2017)

Spirit Gerakan Pilihan Sunda (Gerpis), tahun 2017 muncul kembali setelah sekitar setengah abad dalam pergerakkan dan perpolitikan di Indonesia tidur nyenyak tidak kedengaran lagi.
Terutama setelah pada Kongres Daya Sunda (4 Januari 1969) ditetapkan Daya Sunda yang membidani Gerpis (1955), sudah tidak berkiprah lagi di bidang politik, dan hanya menggarap bidang-bidang kebudayaan/kesenian, pendidikan, ekonomi dan sosial

Kesadaran kolektif dan semangat tokoh Sunda melihat fenomena, perjalanan, pergerakkan dan perjuangan tumbuh kembali memasuki tahun 2018 atau akhir tahun 2017, banyak pekerjaan rumah di lemah cai atau sarakan Sunda yang harus mendapat perhatian serius, orang Sunda kiwari yang cenderung statis, terutama dalam pergerakkan politik orang Sunda di Indonesia, persoalan yang kasat mata dihadapi orang Sunda kiwari, minimnya wakil rakyat yang bisa masuk di Senayan Jakarta dan Bandung.

Hanya saja Gerpis Reborn 2017 berbeda dengan Gerpis 1955. Gerpis 2017 dengan spirit Pajajaran Anyar “Uga Ngawaruga gumelarna Putra-Putri Pajajaran di buana geusan ngadegna kejayaan Nusantara,”

Lebih mengedepan dialog intelektual (dialektika), dan tidak masuk ke ranah politik praktis.
Tetap konsinten dibawah bingkai NKRI dengan motto “Membela Indonesia Melindungi Nusantara

Sebanyak 50 deklarator Gerpis 2017 perwakilan tokoh dan elemen Sunda dari Banten, DKI dan Jabar Gerpis 2017 dideklarasikan di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat Bandung Rabu 27 Desember 2017.
Isi Deklarasi

1. Demi mencetak sejarah kehormatan Bangsa Indonesia, kami putra-putri Pajajaran Anyar menyatakan Wangsit Prabu Siliwangi merupakan sumber inspirasi dan alat analisis terhadap kondisi obyektif kekinian yang efektif digunakan sebagai strategi untuk memimpin kebangkitan Indonesia melalui penegakkan prinsip-prinsip Pajajaran Anyar untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta memelihara ketertiban dunia.

2. Demi memastikan kokohnya persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kami putra-putri Pajajaran Anyar menyatakan bahwa setiap warga negara dan Ki Sunda harus siap menjadi Garda Terdepan dalam menjaga pilar-pilar dan ukhuwan NKRI

3. Kepada seluruh elemen warga Negara dan khususnya orang Sunda pangumbaraan, Sunda diaspora dan pejuang paku sarakan, kami putra-putri Pajajaran Anyar menyerukan untuk mendukung cita-cita, misi dan strategi Gerakan Pilihan Sunda di setiap pront perjuangan politik, ekonomi, budaya, kebangsaan dan keutamaan demi tercapainya tujuan negara berdasarkan UUD 1945, Pancasila dan Wawasan Nusantara dibawah kepemimpinan dan ketokohan putra-putri terbaik Pajajaran Anyar.

Ketua Gerpis Andri Perkasa Kantaprawira menegaskan Gerpis dengan spirit Pajajaran Anyar mendorong semua tokoh Sunda untuk bersama-sama memikirkan nasib orang Sunda ke depan.

“Sudah saatnya Sunda sa-Pajajaran memikirkan bangsa Sunda ke depan demi keutuhan bangsa Indonesia dan memberikan kontribusi tidak hanya untuk suku bangsa Sunda, tapi seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia,” harap Andri.

Maklumat Sunda (2022)

Maklumat Sunda lahir dari keprihatinan nasib orang Sunda melihat perkembangan Jawa Barat yang kini mengalami perubahan yang sangat mengkhawatirkan, baik dalam segi infrastruktur, tatanan politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan sosial.

Posisi orang Sunda sangat tidak menguntungkan, banyak sarakan Sunda kini sudah bukan milik urang Sunda lagi dan berpindah ke bangsa asing.

Kondisi seperti ini sangat menggelisahkan, kondisi Orang Sunda kiwari mirip seperti saat lahirnya Daya Sunda, Kongres Pemuda Sunda dan Pront Pemuda Sunda.

Dalam pergerakkannya orang Sunda tidak pernah mencederai NKRI, Daya Sunda dengan sayap politiknya Gerpis tidak pernah berkhianat kepada NKRI.

Hanya saja saja lewat tokoh-tokoh intelektual Pangauban Sunda dan Sunda Budaya yang kemudian melebur menjadi Daya Sunda meminta keadilan dari Jakarta.

Sepertinya tak jauh berbeda dengan Daya Sunda, Maklumat Sunda yang diinisiasi Pupuhu Gerpis 2017, Andri Perkasa Kantaprawira dan Lembaga Adat Kratwan Galuh Pakuan lewat

Maklumat Sunda Evi Slyviadi akan terus berjuang membela sarakan Sunda yang kini terus mengalami tekanan dari Jakarta lewat-lewat tangan-tangan Oligarki, sehingga banyak sarakan Sunda yang berpindah tangan ke tangan bangsa lain, cenderung tidak memperhatikan keadilan dan kearifan lokal, pada kenyataan sangat merugikan kehidupan orang Sunda, baik dari segi, politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan sosial

Isi Maklumat Sunda

1. Menuntut agar kabuyutan Sunda yang terdiri dari tanah, air dan udara, serta gunung, hutan, pantai, sungai dan yang lainnya, dikelola dengan pendekatan kearifan lokal yang memadukan pengetahuan lokal dan modern, sehingga dapat dipastikan menjamin kehidupan yang sejahtera bagi generasi mendatang

2. Menuntut agar pelabuhan Internasional Patimban menjadi pelabuhan agraria dan industri dan juga meminta agar program serta proyek dan investasi strategis nasional di Tatar Sunda harus dipastikan diputuskan dengan kebijakan yang berwawasan lingkungan, affirmatif dan protektif bagi kami rakyat Sunda

3. Menuntut Presiden RI melalui Dewan Perwakilan Daerah RI untuk mengubah nama Propinsi Jawa Barat menjadi Propinsi Sunda

4. Meminta Pemerintah Daerah di Tatar Sunda untuk membuat kebijakan dan peraturan daerah yang mendukung semua upaya untuk menjaga kearifan lokal dan pembangunan yang berpihak kepada alam rakyat Sunda

Maklumat Sunda ditetapkan di Subang 2 Februari
Ditandatangani oleh Pupuhu Gerpis Andri Perkasa Kantaprawira dan Pupuhu Lembaga Adat Kratwan Galuh Pakuan Ranghyang Mandalajati Evi Slyviadi

Otonomi Khusus Sunda Raya

Dampak dari Maklumat Sunda mendapat respon yang berbeda dari tokoh Sunda di Jawa Barat karena ada kesalah fahaman (interpretasi) dari wacana Otonomi Khusus Sunda Raya, yang jelas didalam isi Maklumat Sunda tidak tercantum otsus Sunda Raya dan wacana otonomi khusus Sunda Raya itu muncul dalam pembicaraan diluar Maklumat Sunda dan melebar keluar menjadi perdebatan karena ada dari tokoh besar Paguyuban Pasundan yang menganggap Maklumat Sunda memprovokasi orang Sunda untuk disintegrasi bangsa, memisahkan diri dengan mengganti nama dari gabungan Jabar, DKI dan Banten menjadi Provinsi Sunda.

Padahal yang benar Maklumat Sunda hanya menuntut penggantian nama Provinsi Jabar menjadi Provinsi Sunda.

Pupuhu Gerpis Andri Perkasa Kantaprawira menegaskan tidak ada sedikitpun Maklumat Sunda punya gagasan mengabungkan Jabar, DKI, Banten menjadi Provinsi Sunda. “Isi Maklumat Sunda hanya menuntut penggantian nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Sunda,” tegas Andri.

Hal serupa ditegaskan Pupuhu Lembaga Kratwan Galuh Pakuan Evi Slyviadi, bisa dibaca sendiri tidak ada tuntutan Maklumat Sunda menyatakan penggabungan Jabar, DKI dan Banten.

“Penggabungan Jabar, DKI dan Banten menjadi Provinsi konteksnya sangat berbeda dengan wacana otonomi khusus Sunda Raya, lagi otsus kan ada Undang-undangnya, jika Papua dan Aceh kini menjadi otonomi khusus bida, kenapa Otsus Sunda Raya tidak bisa,” tandas Evi.

Forum Sunda Ngahiji dan Majelis Musyawarah Sunda (2024)

Perjuangan urang Sunda dari mulai sebelum berdirinya NKRI, pasca kemerdekaan hingga sekarang tidak pernah surut dan tidak akan pernah berhent atau matii.

Orang Sunda tetap ingin berkiprah ikut melestarikan nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan Indonesia untuk ikut menegakkan NKRI yang kini semakin tercerabut dari akar-akarnya digantikan dengan kepentingan kekuasaan lewat penguasa yang didukung oligarki.

Peresmian Majelis Musyawarah Sunda (MMS) di Gedung Sate, Jln. Diponegoro Bandung, Senin, (08/07/2024) – (Sumber: Arie/BJN)

Terpanggil untuk menyelamatkan sarakan dan lemah cai Tatar Pasundan sejumlah tokoh Sunda pun merasa terpanggil dengan lahir Gerakan Pilihan Sunda 2017, Maklumat Sunda, Kongres Sunda , Forum Sunda Ngahiji dan Majelis Musyawah Sunda (MMS).

Forum Sunda Ngahiji yang dibidani oleh Laksmana TNI (Pun) Ade Sopandi lahir sebagai bentuk kegelisahan urang Sunda dan sedangkan hadirnya MMS tidak lepas dari kegundahan Prof. Dr Ganjar Kurnia DEA, tergesernya orang Sunda dari peta kekuatan baik politik, pendidikan, ekonomi, budaya dan yang lainnya,

Rentetan perjuangan orang Sunda dari sebelum kemerdekaan pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru reformasi, hingga sekarang perjuangan orang Sunda tak pernah berhenti atau mati

Kendati dalam perjalanantidak mulus, banyak rintangan, banyak mengalami kendala, karena terbentur dengan kondisi negara dan politik yang ada. Dan yang paling berat bukan menghadapi deungeun-deungeun yang kerap memotong kekuatan orang Sunda justru dari orang Sunda sendiri.

Kini kondisi orang Sunda terpolarisasi masuk ke ranah partai-partai besar. Para politisinya asyik dan nyaman di partai yang telah membesarkannya, sementara kepada sarakan dan lemah cainya kadang lupa diri.

MMS akan menggelar penetapan Presidium, Pinisepuh, Dewan Pakar dan Dewan Pekerja di Gedung Unpad (di Gd II – Lt 4) Jl.Dipati Ukur No. 35 Bandung, Minggu, (13/10/2024).

Majelis Musyawarah Sunda mengambil foto “Sunda Mulia Musnatara Jaya” diharapkan bisa menjadi spirit agar orang Sunda bisa lebih punya daya ungkit untuk lebih meningkatkan kemampuannya ikut menegakkan dan memajukan NKRI

Judul: Bunga Rampai Pasang Surut, Pergulatan, Perjuangan dan Pergerakan Tokoh Sunda dari Masa ke Masa
Penulis: Agung Ilham Setiadi
Editor: AIS

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *