Bulog dan Gabah

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Ilustrasi: Pemandangan di sore hari - (Sumber pixabay)

MajmusSunda News , Sabtu (25/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Bulog dan Gabah” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Di benak petani padi, tanggal 15 Januari 2025 adalah momen penting dalam kehidupannya. Hari itulah Pemerintah mulai memberlakukan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras. HPP Gabah naik Rp. 500,- sehingga menjadi Rp. 6500,- per kg, sedangkan HPP Beras naik Rp. 1000,- sehingga menjadi Rp. 12.000,- pet kg nya.

Kenaikan HPP ini, utamanya HPP Gabah, pasti akan disambut gembira oleh para petani padi, mengingat kenaikan ini ditengarai bakal membawa perubahan dalam kehidupan petani. Sebagian besar petani padi di Tanah Merdeka, jelas sangat berkepentingan dengan HPP Gabah. Sebab, usaha keras nya selama kurang lebih 100 hari bercocok tanam padi, hasil akhirnya adalah gabah.

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Gabah, khususnya gabah kering panen (GKP) inilah yang akan dijual ke pasar oleh petani sebagai salah satu upaya untuk merubah nasib dan kehidupannya. Oleh karena itu, menjadi sangat memilukan bagi kehidupan kesehariannya, jika petani mendengar, saat panen raya tiba, harga gabah di petani anjlok dengan angka cukup signifikan.

Anjloknya harga gabah kering panen saat panen raya berlangsung, hal ini betul-betul menjadi tragedi kehidupan petani. Harapan untuk berubah nasib, sirna dengan sendirinya, lantaran harga gabah melorot. Lebih sedih lagi, harga gabah yang terjadi di tingkat petani, jauh dibawah HPP yang ditetapkan Pemerintah. Rencana untung berubah menjadi buntung.

Di sisi lain, Pemerintah sebagai regulator pangan, telah menugaskan Perum Bulog sebagai operator pangan untuk menyerap gabah hasil panen petani sebanyak-banyaknya. Penugasan serap gabah dan beras produksi dalam negeri kali ini, benar-benar sangat strategis bila dikaitkan dengan program prioritas Pemerintahan Presiden Prabowo yang ingin mencapai swasembada pangan.

Perum Bulog yang kini tengah berbenah diri untuk menjadikan lembaganya sebagai lembaga otonom Pemerintah langsung dibawah Presiden, sepertinya memikul tugas cukup berat untuk memposisikan diri sebagai offtaker gabah petani. Transformasi kelembagaan jelas harus dilakukan. Status sebagai Badan Usaha Milik Negara, juga harus ditanggalkan.

Dibalik itu, Perum Bulog sebagai offtaker plat merah, juga mesti bersaing dengan para pelaku bisnis gabah di lapangan (bandar/tengkulak/pedagang/pengusaha) untuk mendapatkan gabah srtingfi-tingginya. Persaingan merebut gabah petani, sebetulnya bukan hal baru. Pertempuran seru merebut gabah petani, memang telah berjalan sejak lama.

Yang lebih menarik untuk dibahas, mengapa setiap panen raya, harga gabah di petani selalu anjlok ? Benarkah kejadian yang seolah-olah tampil menjadi tradisi dalam kehidupan petani padi ini, memang ada yang mengkondisikan ? Apakah kejadian berulang-ulang ini seperti yang tidak bisa dicarikan jalan keluarnya, sekalipun seorang Presiden telah turun tangan meminta Menteri-Menteri terkait untuk mengendalikannya ?

Lalu, bagaimana dengan kehadiran dan keberadaan Perum Bulog yang selama ini ditugaskan Pemerintah untuk melakukan pendampingan, pengawalan, pengawasan dan pengamanan pelaksanaan HPP Gabah, telah betul-betul berkiprah secara optimal ? Atau belum, karena Perum Bulog juga menghadapi masalah internal yang butuh penanganan secara serius ?

Posisi Perum Bulog sebagai BUMN, sekitar 21 tahun lamanya, terbukti tidak mampu menampilkan diri sebagai pebisnis yang handal dan piawai. Bahkan hasrat untuk tampil menjadi “raksasa bisnis pangan”, terkesan lebih mengemuka sebagai omon-omon di ruang rapat, ketimbang mampu digarap secara profesionsl dan diwujudkan dalan praktek bisnis kesehariannya.

Justru program-program yang bersifat penugasan Pemerintahlah, tampak menonjol dalam keseharian Perum Bulog selama ini. Sebut saja terkait dengan impor beras. Atau program bantuan langsung beras untuk 22 juta rumah tangga penerima manfaat. Kiprah Perum Bulog menggarap fungsi sosial, lebih membuktikan kehebatannya, dari pada melaksanakan fungsi bisnisnya.

Kaitannya dengan panen raya padi kali ini, Perum Bulog, kembali diuji untuk menunjukan keperkasaannya dalam menyerap gabah dan beras petani. Mampukah Perum Bulog bersaing secara sehat dengan para pelaku bisnis gabah di lapangan ? Apakah ada jurus-jurus ampuh yang dapat digunakan agar para petani berkenan untuk menjualnya kepada Perum Bulog ?

Ini jelas tantangan berat yang harus digarap Perum Bulog. Sadar akan keterbatasan berkomunikasi dengan petani dibandingkan dengan pelaku bisnis lain, Perum Bulog perlu mencari terobosan cerdas dan inovatif dalam menyerap gabah sebanyak-banyaknya dari petani. Sinergitas dan kolaborasi dengan para pemangku kepentingan, sudah waktunya dioptimalkan penggarapannya.

Berkaca pada pengalaman selama ini, Perum Bulog dianggap sebagai “sahabat sejati” para petani. Persahabatan Perum Bulog dan petani yang dilandasi “britherhood spirir” ini, mestinya mampu terjaga dan terpelihara sepanjang waktu. Atas hal demikian, saat inilah esensi persahabatan sejati Perum Bulog dan petani, sangat dimintakan. Petani akan berduyun-duyun melepas gabahnya ke Perum Bulog.

Selamat berkiprah Perum Bulog. Serap gabah dan beras petani sebanyak-banyaknya, dengan harga yang tidak merugikan petani. Kita percaya Perum Bulog akan memberi kinerja terbaiknya, bagi keberkahan dan kehayaan bangsa yang tengah semangat-semangatnya memacu pembangunan. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT)

***

Judul: Bulog dan Gabah
Penulis : Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *