MajmusSunda News, Jumat (17/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Berjaga – jaga soal beras” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Banyak pihak yang mempertanyakan, mengapa untuk tahun 2024, bangsa kita merencanakan impor beras sebesar 3,6 juta ton ? Ada apa sebetulnya dengan dunia perberasan di negeri ini ? Apakah disebabkan oleh adanya sergapan El Nino yang membuat produksi beras secara nasional menurun dengan angka cukup signifikan atau ada hal lain, yang sampai sekarang masih jadi pertanyaan kita bersama ?
Tudingan Pemerintah terhadap sergapan El Nino, boleh jadi cukup beralasan. Jauh-jauh hari sebelumnya, Pemerintah telah meramalkan, serangan El Nino akan menyebabkan gagal panen di berbagai sentra produksi padi. Pemerintah memprediksi, bangsa ini akan mengalami gagal panen dalam kisaran angka 380 ribu ton hingga 1,2 juta ton beras.

Itu sebabnya, dengan mengacu pada data yang ada, kita sangat kesulitan dalam jangka pendek akan mampu menutupi kebutuhan beras di dalam negeri. Terlebih dengan adanya peningkatan kebutuhan beras di dalam negeri. Beras, bukan hanya diperlukan untuk memenuhi konsumsi masyarakat, namun juga dibutuhkan untuk penguatan cadangan dan kebutuhan untuk bantuan pangan itu sendiri.
Mengandalkan kepada produksi dalam negeri, dalam waktu yang singkat, sangat tidak mungkin akan memberi solusi. Memproduksi beras dengan jumlah yang cukup besar, sangat memerlukan proses. Setidaknya butuh waktu sekitar 100 hari. Bagaimana pun, bangsa ini bukan tukang sulap, yang hanya dengan mengucap “sim sala bim”, maka akan munculah beras sebesar yang diinginkan.
Inilah salah satu alasannya, mengapa dalam waktu yang samporet, Pemerintah lebih memilih opsi impor beras ketimbang ngotot mengandalkan hasil produksi petani di dalam negeri. Kebutuhan hari ini, tidak mungkin akan dijawab dalam waktu sekitar 100 hari. Prinsip berjaga-jaga atau deteksi dini, sepertinya lebih baik ditempuh ketimbang mempersiapkan diri menjadi “pemadam kebakaran”.
Beras adalah komoditas politis dan strategis. Siapa pun yang dipercaya oleh rakyat mengelola bangsa dan negara tercinta, jangan pernah sekali pun bermain-main dengan kebijakan, program dan kegiatan perberasan. Sebab, sekali saja, kita menerapkan kebijakan perberasan, maka yang harus menanggung beban berat adalah generasi yang akan datang.
Bangsa-bangsa lain di dunia, khususnya yang tergabung menjadi anggota Badan Pangan Dunia (FAO), sekitar 40 tahun lalu, sempak kagum dan memberi acungan jempol atas kisah sukses bangsa kita meraih swasembada beras. Mereka tidak mengira para petani di Tanah Merdeka, dapat meningkatkan produksi dan produktivitas padi dengan angka yang sangat signifikan.
Memang, swasembada beras yang kita capai, sifatnya swasembada beras on trend, bukan swasembada beras yang permanen. Artinya, swasembada beras yang kita raih, sangat bergantung kepada iklim dan cuaca yang terjadi. Kalau iklim dan cuaca bersahabat dengan petani, maka kita akan swasembada, namun jika tidak lagi-lagi kita harus impor beras besar-besaran.
Apapun alasannya, yang harus kita wujudkan adalah swasembada beras permanen yang berlangsung sepanjang masa. Kondisi inilah yang harus kita raih, sehingga sekalipun ada El Nino atau La Nina, kita akan mampu mengendalikan anomali iklim dengan tetap mengibarkan swasembada beras. Harapan ini, bukan tugas gampang, tapi butuh kerja keras untuk menggapainya.
Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Itulah yang kini digarap oleh Pemerintah. Turunnya produksi beras dengan angka yang sangat terukur, membuat Pemerintah mesti menggenjot produksi setinggi-tingginya, sehingga isu “darurat beras” dapat ditangani sedini mungkin. Pendekatan deteksi dini (early warning) pun, kini jadi kebutuhan yang perlu ditempuh.
Kisruh beras, ternyata bukan hanya berkaitan dengan sisi produksi. Dari sisi harga pun, kini kita menghadapi masalah yang tak kalah seriusnya dengan persoalan produksi. Harga beras di pasar melesat sangat cepat dan mengalami kenaikan yang ugal-ugalan. Harga Pembelian Pemerintah dan Harga Eceran Tertinggi pun, hampir tidak ada artinya.
Pertanyaan pentingnya, mengapa Pemerintah yang menggenggam kekuasaan dan kewenangan, seperti yang tak berdaya mencarikan solusi cerdasnya ? Mengapa banyak langkah dan program yang dikucurkan Pemerintah untuk mengembalikan harga beras ke tingkat wajar, terkesan sangat sulit untuk diwujudkan ? Ada apa sebetulnya demgan harga beras ?
Masalahnya, menjadi semakin rumit, manakala dikenali pula konsumsi masyarakat terhadap nasi sangat susah untuk diturunkan. Bahkan ada trend menunjukkan peningkatan. Boleh jadi, hal ini terjadi karena kekurang-seriusan Pemerintah dalam mengembangkan program penganekaragaman pangan itu sendiri. Karisma diversifikasi kalah pamor oleh upaya menggenjot produksi.
Lengkaplah sudah masalah yang menyelumuti dunia perberasan saat ini. Produksi turun, harga melesat tinggi dan konsumsi makin meningkat. Di luar itu, masih ada problem yang tak kalah penting untuk dicermati. Kebutuhan beras di dalam negeri juga membengkak, karena adanya program bantuan pangan beras, yang tidak bisa tidak harus selalu dipenuhi.
Demikianlah sekilas catatan singkat, terkait dunia beras, yang hingga kini masih sexy dan penting untuk dibincangkan. Resiko memposisikan beras sebagai komoditas politis dan strategis, membuat Pemerintah perlu sungguh-sungguh atas gejolak beras yang terjadi. Langkah berjaga-jaga menghadapi kemungkinan terburuk pun penting dirumuskan, supaya kita tidak menyesal di kemudian hari. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: Berjaga – jaga soal beras
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi