MajmusSunda News, Rabu (15/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “BAPANAS Regulator, Bulog Operator!” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Ketika berlangsung diskusi tentang Lembaga Parastatal di negara-negara yang sedang membangun, muncul pertanyaan terkait dengan posisioning Bulog di negara kita. Lembaga Parastatal sendiri merupakan organisasi pemegang saham terbesar adalah negara. Kekuasaan eksekutif dapat memiliki sebagian atau seluruh modal saham. Perusahaan parastatal beroperasi sebagai perusahaan swasta, dengan undang-undang resmi, warisannya, objek, denominasi dan tujuan, tetapi dibawah pengawasan Negara. Lalu, bagaimana posisioning Bulog?
Persoalan nya adalah mana yang lebih pas untuk diterapkan dalam kehidupan nyata : apakah Bulog sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian seperti di era Orde Baru atau Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti sekarang? Perdebatan ini, rupa nya terus berlangsung, terutama bagi mereka yang pernah merasakan Bulog di kedua posisi tersebut. Sebagian orang menyatakan sebaik nya status Bulog betul-betul menjalankan peran sebagai “alat negara”, dalam wujud LPNK, namun ada juga yang berpandangan, status Bulog tetap sebagai BUMN.

Perusahaan Umum BULOG (Perum BULOG) adalah Badan Usaha Milik Negara yang berdiri pada tanggal 21 Januari 2003. Pendiriannya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) BULOG, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) BULOG. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2003 yang merupakan Anggaran Dasar Perum BULOG tersebut kemudian diubah kembali menjadi PP Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perum BULOG.
Pendirian Perum BULOG tidak lepas dari keberadaan lembaga sebelumnya yaitu Badan Urusan Logistik (BULOG). Sebab, Perum BULOG merupakan hasil peralihan kelembagaan atau perubahan status hukum Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk Perusahaan Umum (Perum). Perubahan status badan hukum BULOG juga mempengaruhi alur koordinasi vertikal yang semula berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI menjadi di bawah koordinasi Kementerian BUMN dan Lembaga Kementerian teknis lainnya.
Hadir nya Badan Pangan Nasional berdasar Perpres 66 Tahun 2021, membuat diskusi soal Bulog ini menjadi semakin menarik. Betapa tidak? Sebab, selain ada nya perbedaan antara BAPANAS dan Bulog, namun ada juga tugas yang hampir beririsan diantara kedua lembaga pangan di tingkat nasional tersebut. Perum Bulog dilahirkan berdasar Peraturan Pemerintah, sedangkan BAPANAS dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Status hukum Peraturan Pemerintah, jelas lebih tinggi dibandingkan dengan Peraturan Presiden.
Dilihat dari tugas dan fungsi sebagaimana disuratkan dalam PP No. 13 Tahun 2016, Bulog dibentuk untuk mengamankan harga pangan pokok beras di tingkat produsen dan konsumen. Kemudian , melakukan pengelolaan cadangan beras pemerintah (CBP), penyediaan dan distribusi pangan pokok beras kepada golongan tertentu, hingga melaksanakan impor beras.
Pemerintah juga memberi mandat kepada Bulog untuk melakukan pengembangan industri berbasis beras, termasuk padi atau gabah serta mengolah gabah dan beras serta mengembangkan pergudangan beras. Tidak ketinggalan, Bulog juga memiliki tugas dalam bidang ketahanan pangan pada jenis pangan lainnya di luar beras.
Artinya, ada pula tugas di BAPANAS dan Bulog yang beririsan, yakni soal harga pangan dan pengelolaan cadangan pangan pemerintah. Nah, dengan kehadiran BAPANAS, nantinya arahan terkait tugas ini akan diambil alih oleh BAPANAS dari Menteri BUMN. “Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara menguasakan kepada Kepala Badan Pangan Nasional untuk memutuskan penugasan Perusahaan Umum Bulog dalam rangka pelaksanaan kebijakan pangan nasional,” jelas Pasal 29 Perpres 66/2021.
BAPANAS kini tengah berbenah diri sebagaimana diamanatkan dalam Ketentuan Peralihan Perpres 66/2021. Amanat Perpres diatas tegas menyatakan masa transisi diberi waktu maksimal 1 tahun. Kita berharap Pemerintah taat asas atas amanat regulasi yang dibuat nya. Jangan sampai pengalaman menanti 9 tahun lahir nya Perpres 66/2021, terulang kembali dalam transisi dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menjadi Badan Pangan Nasional ini. Kita percaya, Pemerintah tentu akan mempertimbangkan keterangan ini, karena kehadiran Badan Pangan Nasional merupakan kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda – tunda lagi.
Selama BAPANAS belum operasional, keberadaan dan kehadiran Perum Bulog diharapkan tetap berlangsung sebagaimana mesti nya. Bulog tetap perlu menjadi sahabat petani yang sejati. Sebagai BUMN, Bulog tidak pantas untuk merugi. Sedangkan sebagai Public Service Obligation (Pelayanan Publik), Bulog juga tidak boleh melukai hati rakyat, khusus nya para petani selaku produsen dan masyarakat selaku konsumen. Memerankan dua peran yang demikian secara berbarengan, bukanlah hal yang cukup mudah untuk dilakukan. Terkadang harus ada yang dikorbankan. Inilah yang terjadi selama ini. Pelayanan publik nya baik, namun sebagai Perusahaan, Bulog mengalami kerugian.
Bulog lahir dengan semangat menjalankan peran sebagai Badan Urusan Logistik. Arti nya, Bulog dituntut dapat menjadi lembaga parastatal yang mampu memberi perlindungan kepada produsen dan konsumen sekaligus menciptakan stabilitas harga. Bulog melaksanakan fungsi pengadaan dan penyaluran komoditas berbagai bahan pangan strategis. Saat itu ditetapkan kebijakan harga dasar (floor price) dan harga atap (ceiling price). Harga dasar digunakan untuk membela petani, manakala harga yang terjadi di pasar berada di bawah harga dasar. Jika tercipta hal yang seperti ini, Pemerintah melalui Bulog akan membeli gabah/beras petani minimal di tingkat harga dasar yang ditetapkan.
Sedangkan bila harga yang terjadi di konsumen berada di atas harga atap, maka Pemerintah akan melakukan Operasi Pasar agar harga kembali normal. Penerapan kebijakan harga dasar dan harga atap menunjukkan keberpihakan nyata secara regulasi dari Pemerintah kepada rakyat nya. Dengan kebijakan ini, Pemerintah telah memposisikan Bulog sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Bulog menjadi “prime mover” dalam pengadaan dan penyaluran bahan pangan. Dan wajar bila kemudian muncul istilah “Bulog adalah Sahabat Setia para petani”.
Entah siapa yang menjadi “pembisik” nya, kebijakan ini dihapus Pemerintah dan dirubah dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Kebijakan HPP terkesan kurang menunjukkan keberpihakan Pemerintah kepada petani. Sebab, bila harga yang terjadi di pasar di bawah HPP maka Pemerintah tidak berkewajiban untuk membeli pada angka HPP. Untung nya, selama HPP diterapkan, harga gabah di tingkat petani selalu berada di atas HPP. Catatan kritis yang dapat diajukan adalah mana yang lebih cocok untuk dijadikan instrumen kebijakan stabilisasi harga pangan : apakah kebijakan harga dasar dan harga atap atau HPP?
Lalu, kalau Bulog sudah menjadi BUMN apakah kehadiran nya masih cukup relevan untuk melakukan pembelaan terhadap petani sekaligus terhadap konsumen? Kemudian bagaimana pertanggungjawaban keuangan nya bila Bulog terus menerus mengalami kerugian? Atas hal yang demikian, sangatlah keliru bila suasana nya tidak ditangani sesegera mungkin. Sebagai BUMN, Bulog tidak pantas untuk merugi. Bulog juga tidak boleh memiliki utang yang cukup besar. Bahkan yang semesti nya terjadi Bulog harus untung. Pertanyaannya adalah mengapa Bulog harus merugi dan Pemerintah memiliki utang ke Bulog hingga 4 triliun rupiah?
Beberapa tahun lalu, Dirut Perum Bulog menjelaskan bahwa pemerintah belum melunasi biaya kerugian dari beras turun mutu disposal sebesar 20.000 ton pada 2019 dengan nilai Rp173 miliar. Adapun utang Rp 4 triliun tersebut mencakup pembayaran pemerintah untuk beras bencana alam dan bantuan PPKM, serta pengadaan gula untuk cadangan stabilitas harga pangan (CSHP). Sampai sekarang utang negara dengan Bulog itu hampir Rp 4 triliun belum dibayar. Padahal bunganya komersil, jadi bunga berjalan. Ini termasuk beras yang dibeli Bulog itu sudah menahun usia nya, sehingga perawatannya pun menjadi mahal. Karena itu harus dirawat dengan biaya tinggi, sedangkan kualitasnya pasti turun. Bila dijual pun, harga pasti jatuh.
Sebagian besar petani, sebenar nya meminta agar Bulog dapat menjadi sahabat sejati mereka dan menjadi “dewa penolong” tatkala petani sedang kesusahan. Dalam panen raya misalnya, Bulog diminta untuk dapat menyerap hasil produksi petani dengan harga yang pantas dan tidak merugikan petani. Namun begitu, dengan potret diri Bulog hari ini, rasa-rasa nya, sebelum berkiprah untuk orang lain, ada baik nya bila Bulog pun lebih fokus untuk menata dan membenahi diri sendiri, yang saat ini terekam cukup kesusahan dalam “melobi” Pemerintah untuk membayar hutangnya kepada Bulog. Bagi sebuah Perusahaan Umum Bulog, dana sebesar Rp. 4 trilyun adalah angka yang cukup besar. Itu sebab nya, Pemerintah diminta untuk sesegera mungkin melaksanakan kewajiban nya.
Dampak pandemi covid 19 terhadap ekonomi nasional yang tidak tahu kapan akan selesai, menuntut kepada kita untuk memperkokoh ketersediaan pangan yang diwujudkan dalam bentuk cadangan pangan, baik nasional atau daerah. Cadangan ini sangat dibutuhkan, selain untuk memenuhi kehidupan warga bangsa sehari-hari, juga diperlukan sebagai beras untuk kepentingan bantuan sosial bagi masyarakat yang kurang diuntungkan oleh ada nya pembangunan. Bulog sebagai lembaga yang selama ini sudah cukup berpengalaman dalam menjalankan program Raskin dan Rastra dengan jaringan distribusi nya yang mumpuni, tentu sangat dimintakan peranan nya sebagai operator yang handal. Segenap warga bangsa percaya, Bulog tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diemban nya.
Pilihan untuk menjadikan Badan Urusan Logistik sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian atau BUMN atau ke dua-dua nya sekaligus, kelihatan nya butuh pencermatan yang mendalam sebelum kita mengambil sebuah keputusan. Yang kita harapkan, apakah sebagai LPNK atau BUMN, Bulog mestilah tampil lebih berdaya dan lebih bermartabat. Bulog harus tampak lebih keren dan semakin cerdas dalam berkiprah. Ketika Badan Pangan Nasional tengah menata diri, Bulog dituntut untuk tetap memainkan peran sebagai lembaga pangan yang handal dan tentu tidak di dera utang yang setiap hari semakin bertambah bunga pinjaman nya. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: BAPANAS Regulator, Bulog Operator!
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi