MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (04/10/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Ekonomi Politik Warga dan Tatar Sunda: Sunda, Sarakan Jeung Nagara (Bagian 2 dari 2 Tulisan)” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Ekonom Senior, Guru Besar Politik Ekonomi IPB, dan Anggota Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Lalu model ketiga adalah yang saya sebut sebagai Heterodox Model, yakni keluar dari perspektif social demokrasi ala Eropa dan perspektif neoliberalisme ala AS. GDP itu tetap menjadi indikatornya, serikat buruhnya juga lemah. Namun, gerakan koperasinya relatif kuat, jaminan social juga tidak sistemik seperti di Eropa, tetapi model negara tersebut, tingkat kesejahteraan masyarakat bawahnya adalah sama tingginya dengan Negara-negara Skandinavia (Swedia dan sebagainya).
Kenapa heterodox? Karena dia secara demokrasi politik pun bukan mengelola konflik, bukan Conflictual Scenario of Democracy, tetapi lebih Consensus Scenario of Democracy. Jadi, meski secara politik bersifat feodalistik di mana masih ada Teno-haika (Raja yang sangat dihormati), juga ada peran konglomerasi yang sangat besar, tetapi industrinya hanya membikin core technology, sementara 90%nya dibikin oleh UKM.
Jadi ada sistem sub-kontrak, industri kecilnya luar biasa perannya. Kemudian juga landreform sudah dilaksanakan sejak tahun 50-an. Dengan begitu, Model Pembangunan Heterodox, menunjukkan bahwa GDP hanyalah sebagai instrumen indikatif untuk mencapai tujuan pembangunan, yakni kesejahtraan rakyat serta keadilan sosial.
Bagaimana Indonesia dan Jawa Barat khususnya? Dengan kombinasi antara kondisi alamiah (Negara kepulauan dan negara berpenduduk besar) serta strategi pembangunan yang GDP Oriented itulah yang dapat menjelaskan betapa sulitnya Indonesia keluar menjadi negara yang lebih merata hingga sekarang.
Kalau kondisi alamiah adalah hard fact yang given. Namun, tetap harus dijadikan “keunggulan”, tinggal bagaimana mengelolanya secara cerdas, cermat, dan arif. Namun, hal yang harus di-reform adalah strategi pembangunan yang GDP Oriented dan seyogyanya lebih tepat yang sesuai dengan karakteristik yang dimiliki bangsa ini.
Butuh Breakthrougher Leadership
Dengan gambaran kondisi ekonomi politik makro dan problem ketimpangan yang dihadapi Indonesia tersebut dan kondisi di Jawa Barat pun bukan kekecualian seperti telah diuraian di atas. Hal ini karena capaian pembangunan di Jawa Barat hampir sama dengan di tingkat nasional. Ini berarti kepemimpinan pembangunan yang berjalan selama ini di Jawa Barat masih lebih sebagai “follower” (pengikut).
Jika Jabar ingin jadi Juara dalam arti hakiki, yakni pelaksana Konstitusi UUD 1945 secara konsekuen, yakni mencapai kemakmuran yang berkeadilan maka ke depan yang dibutuhkan adalah “Kepemimpinan Terobosan“ (Breakthrougher Leadership) yang dipelopori oleh Jawa Barat dengan para Pemimpinnnya yang mampu menjadi “penerobos’ persoalan pascareformasi” yang lebih banyak menciptakan petaka bagi rakyat banyak.
Kepemimpinan tersebut haruslah mampu menjawab tiga persoalan mendasar sebagai berikut :
Pertama, seputar Peran negara.
Setelah masuknya peran IMF dengan dokumen LOI (Letter of Intent) yang kemudian dilanjutkan dengan adanya white paper dengan sejumlah program besar untuk mengatasi krisis ekonomi sejak 1998 maka ada berbagai perubahan signifikan di tingkat dasar di negeri ini. Bahkan, berimplikasi kepada amandemen UUD 1945. Antara lain dirumuskan tentang peran negara yang lebih “minimalis” karena “ekonomi disusun berdasarkan ekonomi pasar yang berkeadilan”.
Memang makna tersebut belum dijabarkan secara terperinci seperti apa nantinya. Namun, jargon tersebut merupakan bahasa khas kaum neoliberal yang berbasiskan teori ekonomi neoklasik dan neoliberal karena kata ‘’keadilan’’ tersebut biasanya diterjemahkan dalam konteks pasar kapitalis, yakni ada semacam mekanisme redistribusi pendapatan yang disesuaikan dengan kontribusinya masing-masing individu dalam kapasitas sebagai faktor produksi.
Apakah dia masuk kelas pemilik aset produktif (sumber daya finansial, alam, intelektual, dst) atau sekedar kelas buruh pemilik tenaga fisik semata yang powerless maka secara struktural makin amat sulitlah kalau tak mau disebut tak mungkin, pencapaian sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat (sila kelima dari Pancasila) secara kongkrit dan bertahap pada masa datang karena dengan mekanisme redistribusi yang hanya bertumpu kepada mekanisme pasar kapitalis dalam sejarah pembangunan di dunia selalu gagal. Bahkan, memperparah proses ketimpangan.
Sementara untuk mengatasi kemiskinan dari masyarakat yang tak masuk kelompok ekonomi produktif ─ seperti yang berjalan di AS ─ biasanya lalu diserahkan kepada lembaga-lembaga karitatif yang sangat terbatas daya jangkaunya karena negara harus semakin membatasi peran tertentu saja.
Ini bukan hanya tuntutan mekanisme pasar kapitalis di tingkat nasional saja, tetapi juga tuntutan pasar kapitalis global yang dalam kenyataannya jauh lebih menentukan. Misalnya sekarang Indonesia dan negara berkembang lain sering dituduh oleh negara-negara maju mempraktikkan dumping karena dianggap mengerjakan buruh anak-anak.
Juga tuntutan ecolabelling. Bahkan, bioterrorism untuk produk ekspor. Ujung-ujungnya lebih merupakan siasat proteksi negara maju – yang selalu mengkhotbahkan pasar bebas – terhadap negara berkembang.
Hal yang lebih spektakuler lagi, dampak pemberlakuan ekonomi pasar kapitalis di tingkat nasional dan terutama di tingkat global (dengan kekuatan maha besar dari WTO ditambah IMF dan Bank Dunia) bagi nasib untuk sekitar 99,98 persen pelaku ekonomi di Indonesia yang masuk kategori sektor informal dan UKM – yang sebagian besar berada di sektor pertanian dan pedesaan – karena peran minimalisnya dari negara, yakni untuk promosi dalam pelbagai manifestasi subsidi.
Dengan jargon untuk mencapai kemakmuran dunia yang mensyaratkan kebebasan lalu lintas barang, jasa dan produk intelektual secara global (borderless) maka semua negara di dunia harus melakukan structural adjustment yang intinya membatasi peran negara, mengedepankan peran swasta, dan menciptakan ekonomi pasar kapitalis. Oleh karena itu peran sektor pertanian dalam arti luas, UKM dan sektor informal yang menginginkan memperbesar skala ekonominya untuk masuk kepada dinamika pertumbuhan ekonomi modern apalagi di pasar global menjadi hal yang hampir mustahil.
Dengan begitu, hal yang terjadi pascakrisis di negeri ini, kemiskinan dan pengangguran (terbuka maupun setengah pengangguran) makin massif dan meruyak. Lebih jauh, dampak setelah hampir satu dekade peran WTO mengemuka maka terjadilah piramida kurban manusia – meminjam istilah Peter Berger – di tingkat global, yakni mayoritas negara-negara miskin yang tidak manjalankan ekonomi pasar kapitalis dan kurang bersahabat secara politik dengan AS, menjadi “kaum proletar” secara berkelanjutan. Sementara yang berada di puncak dari piramida tersebut adalah negara super makmur yang memiliki segalanya: power ekonomi, politik dan militer, yakni AS, kemudian disusul China, Jepang, dan Uni Eropa.
Uraian di atas bukanlah sebuah ungkapan untuk mengkampanyekan anti-ekonomi pasar dan menolak langkah menciptakan daya saing ekonomi dalam kerangka interdependensi ekonomi global (bukan istilah globalisasi yang lebih mengesankan adanya dominasi bahkan hegemoni).
Bagi negeri ini yang mayoritas rakyatnya masih hidup di sektor agraris dan ekonomi informal, serta proses pembelajaran awal demokrasi politik, kiranya harus menyikapi dinamikan ekonomi dan politik global dewasa ini secara selektif dan cerdas. Antara lain kita harus berani me-review berbagai penetapan tentang peran negara dalam ekonomi dalam konteks interdependensi ekonomi dan politik global dewasa ini.
Juga termasuk keberanian mengkaji ulang white paper IMF, terutama menyusun politik subsidi yang relevan. Dalam waktu yang sama, pemberatasan Korupsi, reformasi birokrasi dan penegakan hukum serta proses demokratisasi politik, secara serius dan berkelanjutan terus dilaksanakan.
Dengan belajar terus dari pengalaman termasuk bagaimana terjadinya kegagalan negara di masa pemerintahan Orde Baru dan kegagalan swasta pasca-Orba, akhirnya kita harus mampu menempatkan format negara yang efektif dan civil society yang elegan dalam konteks untuk memecahkan ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran yang besar ke depan.
Kedua, proses demokratisasi politik
Indonesia memang telah ditasbihkan menjadi negara besar ketiga (setelah AS dan India) yang berhasil dengan penduduk yang raksasa menjalankan demokratisasi politik (pemilu legislatif di pusat dan daerah serta presiden) secara damai dan luber pasca-otoriritarianisme selama empat dekade. Bahkan dalam Pemilu Legislatif dan Presiden tahun ini, dan sekian banyak Pilkada secara langsung tahun sebelumnya menyusul pemberlakuan otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan.
Dengan segala kekurangan yang ada, bagaimana pun ini prestasi rakyat terbesar yang mampu dipersembahkan ke panggung dunia. Namun, dengan prestasi spektakuler tersebut harus direnungkan juga kenyataan lain untuk masa depan. Bahwa dalam kenyataan, perbandingan pengalaman di dunia, tidak setiap sukses demokratisasi politik lantas diikuti oleh sukses menciptakan tingkat kesejahteraan ekonomi dan keadilan social bagi rakyat banyak.
Setidaknya ada empat kategori di dunia dalam hubungan antara demokrasi politik dan kesejahteraan ekonomi rakyat. Pertama, bersamaan dengan sukses demokratisasi politik juga diikuti oleh tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat yang signifikan, seperti dipertontonkan oleh negara-negara Barat. Meski harus diberi catatan bahwa kemakmuran mereka tak lepas dari politik kolonialiame dan imperalisme terhadap negara berkembang pada masa lalu disamping standar ganda yang tak demokratis di tingkat hubungan internasional vis-à-vis negara berkembang sekarang ini. Di luar negara-negara Barat tersebut, juga terdapat Jepang, Turki dan negara-negara industri baru Asia (Korea, Malaysia, dan Thailand).
Kedua, negara-negara yang tak demokratis secara politik. Namun, tingkat kesejahteraan ekonomi rakyatnya relatif tinggi dan merata seperti diperlihatkan Cina dan Singapura.
Ketiga, negara-negara yang tradisi demokrasi politiknya maju. Namun, kesejahteraan ekonomi sebagian besar rakyatnya rendah seperti dicontohkan India dan Filipina serta banyak negara-negara Amerika Latin.
Keempat, negara yang demokrasi politik dan kesejahteraan ekonomi rakyatnya buruk dan rendah, seperti yang terjadi di Pakistan, Bangladesh, dan hampir semua negara-negara Afrika.
Di mana tempat Indonesia (dimana Jawa Barat sebagai core-nya) dalam peta hubungan tersebut akan menempatkan diri? Sementara ini kita baru masuk dalam kategori ketiga. Bahkan, kalau gejala perpecahan internal partai terus menerus tanpa terselesaikan, kemudian konflik yang tak terkendali dalam Pemilu Legislatif dan Presiden, serta berbagai pilkada, juga KKN oleh pemerintahan tak terpecahkan maka sesuatu yang akan terjadi bukan hanya tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat ─ dalam alam globalisasi dengan hegemoni AS – yang akan semakin bertambah buruk, demokrasi politik pun akan mengalami kemunduran besar. Pemecahan ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran yang massif dan besar yang dialami dewasa ini akan semakin jauh panggang dari api.
Selanjutnya dengan budaya patrernalistik yang kita miliki, sebagaimana negara-negara Asia lainnya maka nasib Indonesia akan sangat tergantung elitenya untuk memecahkan teka-teki seperti diuraikan tadi. Rakyat sudah membuktikan dirinya secara spektakuler berhasil, baik itu dalam proses demokrasi politik seperti diperlihatkan dalam Pemilu legislatif dan Pilpres secara langsung tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019, maupun kemandirian dan ketahanan ekonomi yang dipertontonkan selama krisis ekonomi yang telah berlangsung, tahun 1998, 2008 dan 2020-22 (kombinasi krisis penyakit, krisis iklim dan perang di Ukrania).
Ketiga, kembali ke pertanian (dalam arti luas)
Salah satu jalan radikal yang harus ditempuh bangsa Indonesia agar memiliki kemampuan dalam menanggulangi ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran massal, seperti yang dialami dewasa ini ─ secara makro struktural ─ haruslah melakukan paradigm shift dengan pembangunan berbasis SDA pertanian dalam arti luas (dengan UMKM dan sektor Informal di perdesaan maupun di perkotaan) yang memasukan konten IPTEK (khususnya digitalisasi/revolusi 4.0) dengan dukungan SDM yang handal.
Pada saat yang sama ditata kembali peran negara, pasar, dan civil society secara rasional dan proporsional untuk menegakan kedaulatan ekonomi serta mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat di masa depan.
Kalau dengan basis pembangunan lebih bertumpu kepada paradigma ekonomi neoliberalisme seperti sekarang ini maka yang akan terjadi adalah ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran akan semakin massif dan meruyak, serta hanya sebagian kecil elit saja (oligarki binsnis dan politik) yang akan mencapai kemakmuran meski demokrasi politik mungkin saja akan mengalami kemajuan secara prosedural. Namun, pada hakikat sesungguhnya adalah anti-demokrasi, karena rakyat banyak yang paling menderita.
Rujukan:
– Didin S. Damanuri, Model Negara Kesejahteraan Indonesia: Pendekatan Heterodoks, IPB Press, 2022;
– Didin S. Damanhuri, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar dalam kemelut Globalisasi, Lembaga Penerbit Fak.Ekonomi UI, Jakarta, 2009;
– Didin S. Damanhuri, Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Lembaga Penerbit Fak.Ekonomi UI, Jakarta, 2006;
– Didin S. Damanhuri, Pilar-Pilar Reformasi Ekonomi-Politik: Upaya Memahami Krisis Ekonomi dan Menyongsong Indonesia Baru, Penerbit CIDES-Jakarta dan Pustaka Hidayah-Bandung, 1999.
***
Judul: Ekonomi Politik Warga dan Tatar Sunda: Sunda, Sarakan Jeung Nagara (Bagian 2 dari 2 Tulisan)
Penulis: Prof. Dr. Didin S. Damanhuri
Editor: Jumari Haryadi
Baca Juga: Ekonomi Politik Warga dan Tatar Sunda: Sunda, Sarakan Jeung Nagara (Bagian 1 dari 2 Tulisan)