MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Selasa (24/06/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “”Darah Baru” Kelembagaan Pangan” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Dalam beberapa waktu belakangan, istilah “swasembada pangan” kembali ramai dibincangkan. Mulai dari Kepala Negara hingga Kepala Desa, tampak hangat membahasnya. Apakah jika tidak dijadikan program prioritas Presiden Prabowo beserta Kabinet Merah Putihnya, orang-orang akan membahas swasembada pangan seinten sekarang ?

Ah, rasanya tidak ! Swasembada pangan sendiri, bukanlah hal baru dalam melakoni kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Swasembada pangan, ibarat lagu lawas yang diputar ulang. Ada yang suka dan ada yang tidak. Hal ini lumrah terjadi, karena beda generasi, pasti akan beda selera. Generasi Kolonial, tentu sangat jauh perbedaannya dengan yang disebut dengan Generasi Milenial.
Sejak 20 tahun lalu, orang-orang sudah jarang membincangkan istilah swasembada pangan. Saat itu, orang-orang tampak senang bicara soal Ketahansn Pangan. Swasembada pangan dinilai sudah selesai, dan diawal era reformasi, kita dihangatkan dengan kebijakan dan program pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan.
Dalam 10 tahun terakhir, isu pembangunan pangan di negeri ini, mulai bergeser ke soal Kedaulatan Pangan. Sayang, jika kita ikuti perkembangannya, baik ketahanan pangan maupun kedaulatan pangan, hingga kini masih belum dapat kita buktikan, mengingat “syarat utama” nya belum dipenuhi. Apa sih yang dimaksud dengan syarat utamanya itu ?
Jujur kita akui, ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan akan dapat diwujudkan, sekiranya kita sudah mampu menggapai swasembada pangan. Tanpa swasembada pangan, tidak akan ada ketahanan pangan atau kedaulatan pangan. Itu sebabnya, sudah cukup tepat dan masuk akal sehat, jika Presiden Prabowo kembali mengangkat isu swasembada pangan lagi.
Sejak Indonesia Merdeka hampir 80 tahun, belum pernah sekalipun bangsa ini meraih swasembada pangan. Yang baru bisa kita capai adalah swasembada beras. Itu pun sifatnya “on trend”. Artinya, kadang swasembada, kadang juga tidak. Tergantung situasi dan kondisinya. Padahal yang mesti kita kejar adalah swasembada beras berkelanjutan.
Swasembada Pangan beda dengan Swasembada Beras. Swasembada pangan secara matematik adalah perjumlahan dari swasembada-swasembada jenis bahan pangan yang cukup strategis bagi kehidupan. Sebut saha beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula pasir, bawang putih dan lain sebagainya. Jenis bahan pangan diatas, masih kita impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Memaknai swasembada pangan seperti itu, sangat tidak realistis, bila dalam 3 tahun ke depan kita ingin mencapai swasembada pangan. Jangankan swasembada pangan, meraih kembali swasembada beras pun, kini kita dihadapkan pada beragam tantangan dan rintangan yang cukup berat. Terlebih jika ingin mewujudkan swasembada berkelanjutan.
Belum lagi yang disebut dengan swasembada kedelai, swasembada dagung sapi dan swasembada bawang putih, yang tanamannya hanya tumbuh baik di negara sub-tropik. Atas gambaran seperti ini, tentu akan lebih realistik, jika kalimat utamanya kita tambahkan dengan kalimat “utamanya beras”. Jadi, kalimatnya : “Pencapaian Swasembada Pangan, Utamanya Beras”.
Mengejar swasembada beras dalam 3 tahun ke depan, tentu cukup realistis. Hanya penting jadi catatan, swasembada beras yang kita raih, bukan hanya sekedar menggenjot produksi setinggi-tingginya, namun juga harus dibarengi dengan semakin membaiknya kesejahteraan dan kemakmuran para petani padinya. Ini yang harus kita wujudkan.
Semangatnya harus digeser menjadi “swasembada beras yang mensejahterakan petani padi”. Artinya, sangat nenyakitkan jika produksi beras melimpah ruah, namun sebesar 47,94 % (data Badan Pusat Statistik) yang terkategorikan kemiskinan ekstrim, berasal dari sektor pertanian. Siapa lagi mereka itu, bila bukan petani gurem dan petani buruh.
Itu sebabnya, kita tentu sangat mendukung kebijakan Pemerintah yang ingin “membebaskan” Perum Bulog dari statusnya sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ini penting. Sebab, yang namanya Bulog sebagai lembaga parastatal, seharusnya menjadi “lembaga negara” yang lebih memperhatikan kebutuhan dan tuntutan petani, bukan jadi perusahaan plat merah. Revitalisasi Bulog mutlak digarap.
Kata kunci swasembada pangan adalah produksi pangan yang berlimpah. Kata kunci kesejahteraan petani terjadinya peningkatan pendapatan petani. Naiknya produksi pangan yang cukup signifikan, tidak otomatis mendongkrak kesejahteraan petani. Banyak faktor yang membuat petani sejahtera. Salah satunya, faktor harga jual di tingkat petani.
Fakta di lapangan, petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga jual dari komoditas yang dipanennya. Bandar dan tengkulaklah yang paling menentukan harga. Pengalaman nembuktikan, jarang para bandar atau tengkulak yang mau berbagi keuntungan dengan petani. Mereka cenderung akan mengambil untung sebesar-besarnya.
Adanya kemauan.politik Pemerintah untuk menjadikan Bulog sebagai “offtaker” yang membeli gabah dan beras petani misalnya, dimaksudkan agar petani dapat menjual hasil panen nya dengan angka yang wajar. Bulog adalah sahabat sejati petani. Bulog pasti akan memberi perlindungan dan pembelaan, sekuranya ada oknum yang ingin memarginalkan kehidupannya.
***
Judul: “Darah Baru” Kelembagaan Pangan
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi