Budidaya Pendidikan

oleh: Prof. Yudi Latif

MajmusSunda News, Senin (23/06/2025) Artikel berjudul “Budidaya Pendidikan” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Saudaraku, dunia sedang berubah bukan karena dunia telah tua, tetapi karena ia terus menemukan cara baru untuk menjadi muda kembali—dengan teknologi sebagai penyulut, dan disrupsi sebagai percikan-percikan petir yang menyambar.

Prof. Yudi Latif
Prof. Yudi Latif, penulis – (Sumber: Instagram)

Zaman batu tak berakhir karena habis batunya. Zaman besi tak datang karena perunggu sirna. Semua berubah bukan karena kekurangan, tapi karena penemuan. Maka, jangan takut pada badai perubahan. Takdir kita adalah menjadi layar yang lentur di tiupan angin tak tentu arah.

Tugas pendidikan bukanlah mencetak bata-bata keterampilan yang kaku, tapi menggali tanah liat pikiran yang bisa dibentuk ulang—lentur, tapi kokoh. Karena di dunia yang terus berubah, yang bertahan bukan yang paling kuat, tapi yang paling bisa menyesuaikan.

Manusia pembelajar haruslah seperti bambu: meliuk dalam angin, tapi tak patah; berakar dalam tanah, namun menjulang ke langit. Ia harus memiliki jiwa yang gelisah untuk tahu (curiosity), hati yang menyala karena cinta (passion), imajinasi yang menari di antara bintang, nalar tajam yang mampu memilah dan merajut, serta keteguhan yang tak luntur diterpa gagal.

Namun, kreativitas tanpa karakter hanyalah bunga tanpa akar. Maka pendidikan harus menjadi taman—bukan hanya tempat pohon-pohon tinggi tumbuh, tetapi juga tempat harum kejujuran, warna kesetiaan, dan buah keberanian bisa dipetik.

Ruang kelas tak lagi cukup sebagai wadah belajar. Ia mesti terbalik seperti cermin—teori dibawa pulang, praktik dirayakan bersama. Anak-anak tak boleh diborgol oleh silabus; mereka mesti bebas memilih jalan belajarnya sendiri, ditemani guru yang bukan menara gading, melainkan sahabat perjalanan.

Dan tak kalah penting, mereka harus belajar menulis bukan hanya agar bisa menjawab soal, tapi agar bisa menjawab hidup. Membaca bukan sekadar menuntaskan halaman, tapi menyalakan lentera dalam dada. Karena, tanpa kata yang dibaca dan ditulis, tak ada dunia yang bisa dipahami apalagi diubah.

Di tengah zaman yang gaduh oleh algoritma dan kebisingan digital, mari kita tegakkan pendidikan yang tak hanya mencerdaskan otak, tapi menghaluskan rasa, menajamkan nurani, dan menanamkan harapan.

***

Judul: Budidaya Pendidikan
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang penulis

Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.

Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.

Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.

Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *