Ignoransi Pendidikan Tinggi Melihat Tak Layak Adanya Sarjana Koperasi: Cooperative Grant University sebagai Solusi

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

Ilustrasi: Suasana wisuda di sebuah perguruan tinggi - (Sumber: Arie/MMS)
Ilustrasi: Suasana wisuda di sebuah perguruan tinggi - (Sumber: Arie/MMS)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Kamis (19/06/2025) – Artikel berjudul “Ignoransi Pendidikan Tinggi Melihat Tak Layak Adanya Sarjana Koperasi: Cooperative Grant University sebagai Solusi” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Konstitusi yang Terlupakan: Makna Pasal 33 bagi Pendidikan Koperasi

Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan koperasi sebagai “soko guru perekonomian nasional”. Namun, realitas pendidikan tinggi kita justru bertolak belakang dengan amanat konstitusi ini.

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Penulis – (Sumber: alumniipbpedia.id)

Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, dalam karyanya yang berjudul “People, Power, and Profits” (2019) mengkritik habis paradigma pendidikan ekonomi yang secara sistematis mengerdilkan model kolektif, padahal, Elinor Ostrom (Nobel Ekonomi 2009) telah membuktikan bahwa sistem kepemilikan bersama justru lebih efektif dalam mengelola sumber daya di berbagai komunitas.

Ironisnya, di tanah air kita tercinta tidak ada satupun perguruan tinggi yang berani menawarkan program Sarjana Koperasi (S.Kop) sebagai disiplin ilmu mandiri. Universitas Koperasi Indonesia (Ikopin University) sekalipun hanya sampai pada tahap menawarkan sarjana ekonomi atau manajemen dengan konsentrasi koperasi.

Coba bandingkan dengan bidang seperti pertanian atau pertahanan yang dengan bangga menganugerahkan gelar Sarjana Pertanian (S.P) atau Sarjana Pertahanan (S.Han). Ini jelas mencerminkan bias sistemik yang dalam terhadap koperasi sebagai subjek multidisiplin ilmu.

Koperasi: Anak Tiri dalam Dunia Akademik

Mengapa koperasi tidak dianggap sebagai disiplin ilmu yang setara? W. Richard Scott dalam karyanya berjudul “Institutions and Organizations” (2014) menjelaskan bahwa legitimasi suatu bidang ilmu sering ditentukan oleh relasi kekuasaan.

Di Indonesia, warisan masa lalu yang masih membayangi hingga kini telah menciptakan citra akademik koperasi yang terdistorsi, padahal, bukti-bukti empiris berbicara lain. Hal Varian menunjukkan bagaimana koperasi modern mampu bersaing ketat dengan korporasi melalui efisiensi kolektifnya.

CHS Inc. di Amerika Serikat, sebuah koperasi agribisnis, mencatat pendapatan sekitar US$40 miliar – mengalahkan hampir seluruh BUMN Indonesia. Bahkan, perusahaan konglomerat nasional.

Landasan Kuat yang Sengaja Diabaikan

Secara filosofis, Eugene Silberberg menegaskan bahwa koperasi merupakan manifestasi rasionalitas ekonomi yang selaras dengan karakter masyarakat komunal. Sistem subak di Bali atau mapalus di Sulawesi adalah bukti nyata tradisi kolektif yang telah teruji selama berabad-abad.

Data empiris pun tak terbantahkan:

– JA Group di Jepang menguasai 90% pasar beras domestik
– Volksbank Jerman mencatat aset €500 miliar

Secara teoretis, John Platt dalam Science (1969) mendemonstrasikan bagaimana struktur koperasi menciptakan “sistem adaptif kompleks” yang jauh lebih tangguh menghadapi krisis dibanding model korporasi hierarkis.

Mengapa Kita Buta pada Kesuksesan Koperasi Global?

Kisah sukses CHS Inc. yang pendapatannya menyamai empat kali lipat Telkom Indonesia nyaris tak pernah disinggung dalam diskusi akademis kita. Ini terjadi karena:

– Hegemoni kurikulum neoliberal yang memuja perusahaan kapitalis;
– Mitos inferioritas koperasi yang terus dipelihara;
– Minimnya riset serius tentang model koperasi modern.

Padahal Oliver Williamson (Nobel Ekonomi 2009) membuktikan keunggulan koperasi dalam menekan biaya transaksi di sektor agribisnis.

Mereplikasi Land-Grant University dengan Identitas Indonesia

Land-Grant University (LGU) di AS sukses membangun agribisnis modern karena:

– Pendidikan berbasis kebutuhan riil petani;
– Riset terapan langsung di lapangan.

Namun CGU di Indonesia harus melangkah lebih jauh:

– Fokus pada penguasaan rantai nilai oleh koperasi;
– Bayangkan Kampus CGU di stasiun kereta sebagai pusat logistik koperasi.

KDMP: Dari Pasar Lokal ke Global

Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dapat menjadi inti transformasi melalui:

  1. Primer: Petani menguasai produksi;
  2. Sekunder: Pabrik mikro di stasiun kereta;
  3. Tersier: KDMP Mart bersaing dengan ritel modern;
  4. Global: Ekspor produk olahan premium.

John Platt akan menyebutnya sebagai “perluasan lingkaran keseimbangan” dalam sistem ekonomi.

Visi 2045: Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan

Jika 30% desa memiliki KDMP terintegrasi CGU:

– Pendapatan petani melonjak tiga kali lipat;
– Pangsa pasar koperasi mencapai 25% ekonomi nasional;
– Ketimpangan berkurang signifikan (rasio gini turun 0,25).

CGU sebagai Pembebasan Pendidikan

CGU bukan sekadar kampus, melainkan gerakan pembebasan:

– Dekolonisasi pengetahuan dan teknologi;
– Demokratisasi akses pendidikan tinggi;
– Pemutusan rantai ketergantungan asing.

“Pendidikan harus menjadi alat pembebasan, bukan reproduksi ketidakadilan” – Paulo Freire

Dengan CGU dan KDMP, kita bukan hanya memenuhi amanat Pasal 33, tetapi membuktikan bahwa koperasi mampu menjadi mesin kemakmuran bangsa. Saatnya pendidikan tinggi Indonesia berani melahirkan Sarjana Koperasi sejati yang akan memimpin transformasi ekonomi kerakyatan menuju Indonesia Emas 2045.

***

 Judul: Ignoransi Pendidikan Tinggi Melihat Tak Layak Adanya Sarjana Koperasi: Cooperative Grant University sebagai Solusi
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *