Culangung

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Ilustrasi "Culangung Politik"

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Selasa (11/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Culangung” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Culangung atau calutak dalam bahasa Sunda adalah istilah untuk menyebut orang yang tidak sopan atau kurang ajar. Biasanya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan perilaku seseorang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua. Culangung cenderung dianggap sebagai perilaku (sikap dan tindakan buruk yang tidak seharusnya tumbuh subur dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Orang dapat menjadi culangung (tidak sopan atau kasar) karena beberapa alasan. Pertama, orang yang tidak memiliki pendidikan yang memadai atau tidak memiliki kesadaran tentang norma-norma sosial cenderung bersikap culangung. Kedua, lingkungan yang tidak mendukung nilai-nilai kesopanan dan kebaikan dapat membentuk individu yang bersikap demikian.

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Ketiga, ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol emosi dapat membuatnya bersikap culangung ketika merasa marah atau frustrasi. Keempat, beberapa budaya atau tradisi memiliki norma yang berbeda tentang kesopanan dan kebaikan, sehingga seseorang dapat dianggap culangung dalam konteks sosial tertentu. Kelima, kurangnya rasa empati terhadap orang lain dapat membuat seseorang bersikap culangung karena tidak mempertimbangkan perasaan orang lain.

Keenam, faktor ekonomi atau sosial seperti kemiskinan, keterbatasan sumber daya, atau diskriminasi juga dapat menjadi pemicu seseorang bersikap culangung. Namun, penting untuk diingat bahwa sikap culangung bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah. Dengan pendidikan, kesadaran, dan latihan, seseorang dapat belajar menjadi lebih sopan dan baik. Culangung bukanlah “harga mati” dalam menjalani kehidupan.

Dalam dunia politik, kita pernah dihebohkan dengan munculnya fenomena “culangung politik.” Istilah ini digunakan untuk menggambarkan situasi di mana seseorang atau kelompok politik melakukan tindakan yang tidak etis atau tidak bermoral untuk mencapai tujuan politik mereka.

Beberapa contoh dari “culangung politik” antara lain menyebarluaskan informasi palsu atau menyesatkan untuk memengaruhi opini publik, menggunakan uang atau kekuasaan untuk memanipulasi proses politik, tidak memenuhi janji-janji politik yang telah dibuat, serta menyalahgunakan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Jika dibiarkan tanpa perbaikan, culangung politik dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan menyebabkan ketidakstabilan. Oleh karena itu, penting untuk mempromosikan etika dan moralitas dalam politik. Semangat ini memang mudah diucapkan, tetapi sulit diterapkan dalam kehidupan nyata di masyarakat.

Pemaksaan kekuasaan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui rekayasa regulasi. Tidak sedikit penguasa yang melampiaskan syahwat kekuasaannya dengan mengutak-atik peraturan perundang-undangan demi kepentingan politik mereka.

Sebagai contoh, ketika ada keinginan untuk menempatkan seseorang dalam jabatan politik tertentu tetapi terganjal oleh persyaratan usia, penguasa dengan mudahnya mengubah aturan tersebut. Sekalipun banyak protes dari rakyat, penguasa di banyak negara cenderung mengabaikannya.

Culangung politik semacam ini tidak seharusnya membudaya dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di Tanah Merdeka. Penguasa harus memiliki moral politik yang teruji dan menjunjung tinggi kode etik dalam menjalankan roda pemerintahan. Yang lebih penting, penguasa juga harus selalu mendengar dan mengindahkan suara rakyatnya.

Pertanyaannya, apakah dalam dunia politik saat ini masih ada penguasa yang benar-benar mendengar keinginan dan kebutuhan masyarakat? Apakah mereka masih mampu membedakan antara kepentingan pribadi, keluarga, kelompok/golongan, dan rakyat secara proporsional? Atau justru mereka cenderung menganaktirikan kepentingan masyarakat?

Melahirkan penguasa yang mau menyelami hati rakyat dalam iklim politik yang sarat dengan kepentingan sesaat membutuhkan perjuangan keras. Begitu pula dengan menghadirkan pemimpin yang selaras antara kata dan perbuatan. Sayangnya, budaya politik saat ini tidak mendukung ke arah itu.

Saat ini, banyak pemimpin yang hanya pintar berbicara. Ketika diminta untuk menerapkan apa yang mereka ucapkan dalam kehidupan nyata, hampir tidak ada yang mampu melakukannya dengan baik. Terlalu banyak gangguan dan kepentingan yang menghambat. Terlebih jika di sekitar kekuasaan telah terbentuk oligarki politik yang mapan, idealisme pun akhirnya tergerus oleh realisme politik yang berkembang.

Tumbuh suburnya culangung politik dalam kehidupan harus dilawan dan dihentikan perkembangannya. Adalah sebuah kesalahan besar jika kita membiarkannya. Untuk melakukan pembenahan, kata kuncinya tetap berada pada penguasa yang kita pilih. Selama penguasa di berbagai tingkat kekuasaan masih terhipnotis oleh budaya politik yang hedonis dan gaya hidup yang berlebihan, semangat perbaikan hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.

***

Judul: Culangung
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Mega Korupsi Pertamina
Advertorial

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *