MajmusSunda News, Rabu (15/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Tengkulak Bukan Musuh Petani!” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Tengkulak kerap diartikan sebagai pedagang perantara (yang membeli hasil bumi dan sebagainya dari petani atau pemilik pertama). Tengkulak, biasanya sebagai peraih harga beli yang umumnya lebih rendah dari harga pasaran. Kehadiran tengkulak juga dimaksudkan sebagai orang yang bertugas selaku pembeli, pendistributor, sekaligus pedagang hasil pertanian dan hasil bumi lainnya dengan cara datang ke daerah untuk mencari dan mengumpulkan hasil pertanian tersebut.
Selain itu penting dipahami, keterlibatan tengkulak juga bukan hanya terletak sebagai pembeli, tetapi tengkulak memiliki peran penting sebagai penyedia modal bagi petani. Bahkan di mata petani, keberadaan tengkulak dinilai sebagai “dewa penolong” disaat petani sedang kesusahan. Tidak sedikit petani yang meminta bantuan tengkulak manakala ada keluarganya yang sakit dan memerlukan dana dengan segera. Itu sebabnya, yang namanya tengkulak sering menjadi “sahabat” petani.

Salah besar kalau kita “memusuhi” tengkulak. Terlepas dari beragam sepak terjang tengkulak yang kerap kali “memainkan” harga di tingkat petani, namun kita memahami, pada saat-saat tertentu keberadaan tengkulak, sangat dibutuhkan para petani. Suasana kebatinan antara petani dan tengkulak sendiri telah terbangun sejak lama dan tercipta hubungan emosional yang saling menguatkan.
Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan, kehadiran tengkulak dalam kehidupan kaum tani, sangat memiliki peran yang cukup strategis, sekalipun pada waktu-waktu tertentu ada perilakunya yang menyebalkan. Betapa tidak? Pada saat panen raya misalnya para tengkulak ini sangat doyan menekan harga jual petani, sehingga banyak petani yang dirugikan.
Namun begitu, kita juga tidak mungkin memungkiri adanya sikap tengkulak yang membantu petani ketika secara mendadak petani butuh bantuan dana. Mengapa petani lebih senang berhubungan dengan para tengkulak ketimbang pihak lain seperti perbankan arau koperasi? Salah satu alasannya, karena melalui tengkulak, prosedurnya sederhana, cepat dan tidak bertele-tele.
Musim panen padi, kini tengah berlangsung. Diramalkan mulai April 2024 panen raya akan berjalan. Rata-rata petani padi di negara kita, pada saat panen raya, mereka akan menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Jarang yang mengolah terlebih dahulu, untuk dijual dalam bentuk gabah kering giling (GKG) maupun beras.
Pengalaman menunjukkan, selama musim panen, harga gabah dan beras cenderung anjlok. Petani terkadang kecewa dengan sikap Pemerintah. Pada saat harga jatuh dan tidak mampu menutupi biaya produksi yang dikeluarkan petani, anehnya Pemerintah hampir tidak pernah hadir di tengah kesusahan petani. Pemerintah pun seperti yang tak berdaya menghadapi pasar yang terjadi.
Sebentar lagi, para petani padi di Tanah Merdeka akan menyambut tibanya panen raya. Para petani sendiri, tampak kini sudah bersiap-siap menyambut kedatangannya. Harga gabah yang sekarang terjadi, benar-benar sangat menggembirakan petani. Dengan harga gabah yang berkisar antara Rp.7000,- hingga Rp.8000,- per kg, jelas memberi keuntungan yang wajar bagi petani.
Pertanyaannya adalah apakah pada saat panen raya Pemerintah mampu menjamin harga gabah tidak bakalan anjlok? Atau lagi-lagi Pemerintah tak berdaya melawan oknum-oknum yang sangat gandrung memainkan harga gabah dan beras pada waktu panen raya berlangsung? Lalu, kemana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki untuk melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap petani?
Negara atau Pemerintah mestinya hadir di tengah-tengah masalah yang menyangkut nasib dan kehidupan petani. Pemerintah juga paham betul, mengapa para petani bahagia dengan terciptanya harga gabah menembus angka Rp.7000 – per kg. Dengan demikian, betapa kecewanya petani jika dalam panen raya kali ini, Pemerintah tidak mampu menjaga dan mempertahankan harga gabah yang membuat petani riang gembira.
Dalam kalimat lain, bisa juga disebutkan, jika Pemerintah ingin menolong dan melindungi para petani padi agar sedikit demi sedikit terbebas dari suasana hidup miskin, maka pada waktu panen raya itulah, kehadiran Pemerintah sangat dimintakan. Persoalannya adalah apakah Pemerintah memiliki kemauan dan tindakan politik untuk melaksanakan nya atau tidak?
Bila Pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga gabah dan beras yang nyata-nyata membuat petani senang dan gembira, mestinya sebagai “penguasa”, mampu melahirkan regulasi yang mengokohkan persahabatan petani dengan tengkulak. Buat aturan yang mampu melahirkan suasana tengkulak mencintai para petani dan petani tetap menghormati tengkulak.
Persahabatan tengkulak dengan petani, sudah saatnya dikemas dengan baik dan penuh tanggungjawab. Kesan tengkulak yang seolah-olah hanya mengeruk keuntungan semata, sudah saatnya digeser dengan bahasa yang lebih menonjolkan kebersamaan. Arti nya, tengkulak perlu berbagi keuntungan dengan para petani. Kalau masyarakat Jepang punya “sogo sosha”, mestinya bangsa kita mampu menerapkan budaya “sisih asah, silih asih, silih asuh dan silih wawangi”.
Hubungan emosi yang telah cukup lama terjalin antara tengkulak/pengepul dengan para petani, sebaiknya bukan hanya disemangati oleh nilai sosial, namun juga dikembangkan ke nilai ekonomis. Tengkulak, perlu mengajari petani agar mereka mampu tampil sebagai “petani pengusaha”. Petani penting dipahamkan bagaimana proses bisnis gabah dan beras yang berkeadilan dilakukan.
Mewujudkan keinginan seperti ini, jelas tidak mudah. Untuk memulainya dibutuhkan kesadaran diri terdalam dari pihak-pihak yang akan melakoninya. Kita percaya, petani dan tengkulak memiliku semangat yang sama. Petani ingin sejahtera, dan tengkulak pun ingin meraih untung. Persahabatan yang baik dan berkualitas, mestinya mampu menjawab harapan diatas tadi. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: Tengkulak Bukan Musuh Petani
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi