MajmusSunda News, Senin (30/12/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul Mengukur Kinerja “Bulog Baru” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Kinerja adalah kemampuan atau hasil yang dicapai oleh seseorang, tim, atau organisasi dalam menjalankan tugas atau pekerjaan. Kinerja mencakup aspek kuantotas seperti produktivitas (jumlah pekerjaan yang diselesaikan); efisiensi (waktu dan sumber daya yang digunakan) dan kualitas (standar mutu yang tercapai). Sedangkan dari sisi kualitas, kinerja diukur dari akurasi (kesesuaian dengan standar; ketepatan waktu (deadline yang dipenuhi) dan kreativitas (inovasi dan solusi baru).
Niat Presiden Prabowo untuk “membebaskan” Perum Bulog dari statusnya sebagai Badan Usaha Milik Negara menjadi Lembaga Otonom Pemerintah langsung dibawah Presiden, dimaksudkan untuk lebih mendukung percepatan terwujudnya swasembada pangan. Presiden tidak ingin Bulog disibukan mencari untung karena statusnya sebagai Perudahaan Umum atau sering juga dicap sebagai Perusahaan Plat Merah.

Berdasar sejarah kelahirannya Bulog dikenali sebagai lembaga parastatal. Dari banyak literatur diketahui lembaga parastatal adalah lembaga atau badan yang berstatus sebagai perusahaan negara atau lembaga pemerintah yang menjalankan usaha atau kegiatan ekonomi, tetapi tidak sepenuhnya dikelola oleh pemerintah. Lembaga ini memiliki otonomi tertentu dan bertujuan mencapai tujuan publik serta menghasilkan pendapatan.
Ciri-ciri umum Lembaga Parastatal antara lain dimiliki dan dikendalikan oleh negara; memiliki otonomi dalam pengelolaan; berorientasi pada tujuan publik; menghasilkan pendapatan dan terlibat dalam kegiatan ekonomi. Sedangkan fungsi Lembaga Parastatal adalah melayani kepentingan publik; mengembangkan ekonomi negara; meningkatkan kesejahteraan masyarakat; menghasilkan pendapatan negara dan menyediakan layanan strategis.
Menurut “purwadaksi”nya, Bulog sendiri tergolong ke dalam salah satu lembaga parastatal di negeri ini, selain juga Pertamina, PLN, Telkom, Garuda Indonesia. Menariknya, setelah terjadi gonjang-ganjing politik 1997/1998, atas campur tangan pihak asing srkelas International Monetery Fund (IMF), lembaga parastatal ini harus diganti menjadi sebuah Badan Usaha Milik Negara.
Dalam perkembangannya, Bulog dari statusnya sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) harus berubah dengan status barunya menjadi Badan Usaha Milik Negara. Artinya dalam status barunya sebagai Perusahaan Umum, Bulog dituntut untuk dapat melaksanakan dua peran dan fungsi secara berbarengan, yakni fungsi sosial (social responsibility) dan fungsi bisnis (business aktivity).
Hingga sekarang sudah 21 tahun Perum Bulog berkiprah selaku BUMN. Dalam menggelindingkan roda perusahaannya, Dewan Direksi dan Dewan Pengawasnya, terekam belum mampu menjalankan kinerjanya dengan baik. Tidak jarang para Direksinya harus berhadapan dengan Aparat Penegak Hukum, karena adanya perkeliruan yang ditempuhnya. Bahkan ada Direktur Utamanya yang dijebloskan ke dalam bui atau Hotel Prodeo.
Menariknya selama 21 tahun Perum Bulog menjadi BUMN, kita belum mendengar kisah sukses Perum Bulog sebagai perusahaan yang mampu menggarap jenis usaha pangan yang sukses, selain dari usaha perberasan. Bahkan harapan untuk menjadi “raksasa” bisnis pangan pun lebih menjurus ke arah “mengecat langit” dan belum mampu “menapak bumi”.
Justru yang lebih terdengar adalah peran dan fungsi sosialnya. Kita tentu masih ingat yang namanya Program Beras untuk Masyarakat Miskin atau lebih populer disebut Program RASKIN. Atau ketika Perum Bulog diberi tanggungjawab untuk melaksanakan Program Bantuan Beras Langsung sebesar 10 kg/bulan kepada 22 juta rumah tangga penerima manfaat menjelang Pemilihan Presiden 2024 dilaksanakan.
Selain itu, warga bangsa lebih mengenal Perum Bulog sebagai operator pangan yang handal dalam melaksanakan penugasan Pemerintah, seperti menyelenggaran impor pangan dari produsen beras di dunia. Sayang, dalam tahun-tahun terakhir ini, proses impor pangan ternoda oleh adanya kejadian “demurrage” impor, yang membuat ada LSM yang melapirkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kehendak untuk mengembalikan status Perum Bulog dari BUMN jadi Lembaga Otonom Pemerintah, tampak tengah bergulir. Transformasi kelembagaannya, kini tengah dibahas secara serius oleh berbagai Kementerian. Pemerintah ingin segera melahirkan regulasi Bulog agar benar-benar lincah dalam menampilksn diri sebagai lembaga otonom yang secara nyata dapat menopang percepatan pencapaian swasembada pangan.
Perubahan status Perum Bulog dari BUMN menjadi Lembaga Otonom Pemerintah langsung dibawah Presiden merupakan langkah cukup inovatif untuk meningkatkan kiprah Bulog sebagai “alat negara” yang tidak dihantui oleh masalah untung-rugi sebuah perusahaan plat merah. Kita percaya, sebagai lembaga otonom, Bulog akan mampu memberi kinerja terbaiknya.
Semangat melahirkan “Bulog Baru” non BUMN, setidaknya ada beberapa harapan yang ingin dicapai, selain mempercepat terwujudnya swasembada pangan. Tujuan tersebut antara lain memposisikan Bulog sebagai lembaga yang mengendalikan stabilisasi pasoksn dan harga pangan di masyarakat. Peran ini betul-betul perlu digarap serius agar tidak terjadi kekurangan pasokan dan gejolak harga.
Peran lain yang diamanahkan kepada Bulog Baru adalah membangun kembali suasana kebatinan yang berkualitas antara Bulog dan petani. Persahabatan sejati diantara keduanya, perlu ditingkatkan lebih inten, sehingga terbangun “brotherhood spirit” (semangat persaudaraan) yang lebih nyata lagi. Kita ingin antara Bulog dan petani terjadi budaya silih asah, silih asih, silih asuh dan silih wawangi.
Semoga dengan adanya niat yang cukup mulia, ditambah dengan adanya dukungan politik yang maksimal dari Pemerintah, kita akan memperoleh kinerja terbaik dari Bulog Baru yang tak lama lagi akan dilahirkan Pemerintah. Mari kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah mengiringi hadirnya Bulog Baru. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: Mengukur Kinerja “Bulog Baru”
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi